Selamat Datang

Salam kenal untuk kamu.
selamat datang, mari saling mengisi, lalu terhanyut dalam diksi. Moumantay. :)

Monday, December 15, 2014

Review Film: Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

“Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu.
…Manusia terlahir ke dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Namun di detik pertama kita meluncur keluar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang kau lego satu per satu demi sesuatu bernama cinta”


Magis. Itulah kutipan dari buku bersampul biru dengan judul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang saya baca pertama kali pada waktu SMA. Novel yang ditulis oleh wanita yang saat itu lebih dikenal sebagai penyanyi daripada penulis, Dewi Lestari. Saat saya mulai membaca, tak ada ekspektasi apapun terhadap cerita novelnya. Setelah membuka lembar pertama dan lembar – lembar selanjutnya dari novel itu, saya jatuh cinta dengan plot ceritanya yang unik, serta kagum dengan pilihan kata – katanya. Singkronisasi plot dan kata – kata yang bagai instrumen pengiring mahakarya, magis.

Sudah lebih dari 10 tahun sejak pertama saya “berkenalan” dengannya. Akhirnya, di tahun 2014 ini novel tersebut difilmkan. Diproduksi oleh Soraya Intercine Film, Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh siap untuk ditonton penikmat seni visual. Dan setelah agak “telat” karena beberapa kesibukan, akhirnya semalam saya sempat menonton film tersebut.

Dalam review ini, saya mencoba untuk tidak membandingkan antara film dengan novelnya. Mengapa? Sederhana, saya lupa setiap detail kecil cerita di novelnya dan cukup malas untuk membuka kembali saat menulis ini. Tapi, memang begitulah seharusnya film dinikmati sebagai seni visual. Dinikmati dengan non-ekspektasi tanpa diperbandingkan dengan apapun, termasuk novelnya.

Meminjam kata dari teman saya, “bagi awam film Supernova hanya akan terlihat seperti drama perselingkuhan”. Setelah saya menonton langsung, saya pun meng-amin-i. Tapi inilah Supernova dimana plot hanya sebagai sarana untuk media kontemplasi hidup. Film ini tentang hidup.


Cerita di film ini mengikuti plot cerita di novelnya. Dua orang pria yang sedang belajar di luar negeri bermimpi dimana 10 tahun sejak saat itu, mereka ingin membuat sebuah mahakarya, sebuah novel fiksi ilmiah yang menjembatani seluruh percabangan ilmu pengetahuan. Di tempat lain 10 tahun kemudian, seorang pengusaha muda bertemu dengan wanita cantik dan jatuh cinta kepadanya. Cinta yang tidak merubah keadaan bahwa si wanita telah memiliki suami. Di saat yang sama, ditengah gemerlapnya kota, seorang model cantik melacurkan dirinya kepada para pejabat dan pengusaha kaya untuk menambah pundi uangnya.

6 tokoh. 3 cerita. 1 universe. Supernova.


Buat saya, plot ceritanya tanpa cela. Menghormati plot originalnya. Penyatuan 3 plot yang halus dan memenuhi unsur sebab akibat.

Uniknya untuk sebuah hiburan visual, saya merasa orang dengan tipe auditori akan jauh lebih menikmati film ini. Narasi di awal, tengah, dan bahkan akhir yang penuh kalimat magis dan sains hanya akan tertangkap dengan sempurna oleh penonton dengan indera pendengaran yang peka. Hampir 50% film ini berisi narasi monolog dengan resiko yang membuat penonton bosan, namun diselamatkan oleh pemilihan kata – kata indah oleh penulis skenarionya, Donny Dhirgantoro (penulis novel 5cm, 2)

Yang paling manis dari film ini adalah lantunan soundtrack dari Nidji. Terasa pas di setiap momen adegan. Tidak berlebihan. Nidji seperti mengukuhkan kalau mereka terdepan di dalam dunia soundtrack perfilman Indonesia.

Dari banyaknya sisi positif, sayangnya ada sedikit kekurangan yang menurut saya fatal, para cast yang kurang mengarakter. Herjunot Ali, Fedi Nuril, Raline Shah, Arifin Putra, Hamish Daud, dan Paula Verhoeven terasa kurang maksimal di karakter mereka. Reuben dan Dimas dengan reaksi dan interaksi yang terkesan nanggung, yang mungkin karena, ya gituuu J. Ferre yang kadang terasa kurang cocok dengan jas yang terlihat kebesaran. Rana yang aaah… kurang drama putri, kurang dramaaa. Arwin yang gitu gitu aja. Dan Diva, ah, perempuan tinggi yang mempunyai bentuk tubuh berkualitas model ini kekurangan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seorang diva, kharisma.

Entah bagaimana proses casting yang dilakukan oleh pihak produksi. Walaupun tidak semua, tapi saya merasa pemilihan para cast tersebut seperti masih memanfaatkan euforia dari kesuksesan film 5 cm.

Bagaimanapun, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah sebuah karya seni yang patut di apresiasi sebagaimana karya seni lainnya, dengan rasa dan dengan hati. Penilaiannya tak sekedar benar atau salah, bagus ataupun jelek, hitam ataupun putih. Penilaiannya bersifat subjektif sempurna.

Seperti kata Sang Supernova tentang manusia. Jika seseorang memandang hidup dengan sebatas hitam dan putih, maka dia harus siap dengan guncangan turbulensi.

Seperti pembukanya, mari kita tutup review ini dengan quote yang tak kalah manis.

“Kau dalam ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti, namun aku selalu disini, menantimu. Entah mengapa”
(Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh – Dee)

No comments:

Post a Comment