Selamat Datang

Salam kenal untuk kamu.
selamat datang, mari saling mengisi, lalu terhanyut dalam diksi. Moumantay. :)

Friday, November 28, 2014

Ku Jelang Enam Delapan

Semalam, saya iseng buka buku kumpulan ide yang pernah saya buat. Entah ada angin apa, tiba – tiba pengen aja gitu buka buku berwarna hitam itu. Buku yang gak banyak orang tau karena isinya berupa kumpulan ide dan konsep personal. Buku yang selalu gue buka kalau tiba – tiba ada ilham dan kata – kata keren yang terlintas dalam kepala.

Isi dari buku itu beragam, mulai dari ide – ide kecil mengenai masalah organisasi, sampai ide – ide besar seperti beberapa premis dan outline novel fiksi. gegayaan yak? bodo amat. Buku itu juga media ketika saya ingin menulis puisi.

WHAT?! INDRA BISA BIKIN PUISI?

Memang gak banyak, tapi ada!

Halaman demi halaman yang bertanda "puisi" saya baca dengan sesekali tersenyum. “emang gue bisa ya bikin puisi?” pikir saya yang sering kali terlintas di otak. Ada beberapa puisi yang sedikit aneh, saya geli sendiri waktu bacanya. Ada juga puisi yang saya sendiri nggak percaya pernah buat yang seperti itu.

Sampailah saya di halaman terakhir dan saya baru ingat, ternyata sudah setahun lebih saya gak bikin puisi. puisi saya terakhir adalah tentang kemerdekaan Indonesia yang ke 68 tahun 2013. Dibuat (seperti biasa) setelah makan siang dimana saya bosan dengan kerjaan saya dan coba mengalihkan fokus ke kegiatan yang lain. Sok nasionalis ya saya? Bodo.


Puisi ini juga pernah saya posting di notes facebook. Tapi, berhubung menurut saya puisinya keren (iya, saya narsis) dan itung – itung sebagai postingan pendukung dalam kegiatan migrasi blog, maka saya akan kembali menulisinya disini.

Selamat menikmati dunia dalam diksi. J

========================================================

Kujelang Enam Delapan

Kujelang enam delapan
Kembali berdiri di tanah ibukota
Menghirup polusi udaranya
Bersentuhan dengan debu – debu jalannya
Mencuri lihat cemberut penghuninya
Tampaklah kota yang belum tuntas memenuhi angan kaum para urbannya.

Kujelang enam delapan
Melihat gedung pencakar langit menunjuk awan
Yang kadang menjadi lokasi bagi wisatawan
Juga simbol sentralisasi kebijakan
Tempat mengejar nafsu yang melebihi sandang, papan, dan pangan
Pertanyaannya, apa kabarnya pemerataan pembangunan?

Kujelang Enam Delapan
Lebih dari sekedar perhatian ke Ibukota
Apalagi sekedar kombinasi genap dua angka
Ini tentang umur suatu negara
Cerita tentang sebuah bangsa
Yang pendirinya menolak mati dan memilih MERDEKA!

Kujelang Enam Delapan
Dengan bangga yang entah rasa itu terlihat ada atau tiada
Mendengar sang jelata bergumam tentang penguasa
Melihat penguasa bersolek dandan ria di media
Bangga?
Wajarlah bila lebih ku bangga terhadap Ki Hajar Dewantara

Kujelang Enam Delapan
Melihat tragis nan miris terkikisnya Bhinneka Tunggal Ika
Konflik antar saudara
Senjatanya isu sara
Semua etnis dan golongan ingin juara
Ego dijunjung tinggi setinggi langit yang mengudara
Apa kabar Bhinneka? Apakah tetap Tunggal Ika?

Lalu,
Kujelang Enam Delapan
Mencoba melihat manis takdirnya
Biru pantai membentang di badannya
Hijau hutan menjadi payungnya
Tinggi gunung menjadi pasaknya
Flora Fauna adalah kekayaannya
Ragam budaya tetap pada kearifannya

Kujelang Enam Delapan
Teringat damainya meditasi di tengah edelweiss Surya Kencana
Menyusun kembali memori eksotika Sumbawa dari puncak Gunung Tambora
Dan
Terus memimpikan untuk sekali saja berdiri di ujung Jaya Wijaya

Kujelang Enam Delapan,
Memilih sadar bahwa negara ini masih bertumbuh kembang
Dan tanpa perlu menunggu si lalim tumbang
Mungkin belum sekarang, tapi Indonesia pasti kan terbang!

Kujelang Enam Delapan
Dengan berdoa padamu Ya Tuhan,
Buatlah negeri ini makmur di masa – masa depan

Amin…

Rawamangun, 13 Agustus 2013
Indra Maulana
Di kantor, sendirian, gak ada kerjaan.


Thursday, November 27, 2014

Keluh manusia



“Anjir, panas banget ya siang – siang gini!” ujar kawan saya

Saat itu memang suhu udara sedang tinggi – tingginya. Menurut berita, bahkan suhu udara di Jakarta dapat mencapai 30 derajat celcius. Maklum, musim kemarau, saya dan kawan saya yang hendak membeli makan siang di depan kantor sangat merasakan panasnya bumi yang bagai demam saat itu. Kawan saya ini terus saja mengeluh bahkan ketika sudah sampai di tempat makan. “gila, kalo panasnya kaya gini, berasa pusing kepala gue!” ujarnya saat itu.

Dan...

Saat ini bulan November menuju awal Desember. Curah hujan makin tinggi. Seringkali hujan disertai angin menerpa sebagian daerah termasuk Jakarta.

“Bro, lo kehujanan gak tadi malem?” tanya kawan saya pagi ini.

“Nggak bro, tadi malem gue nunggu di kantor sampai hujannya berhenti, cuma dapet beceknya doang.” Jawab saya.

“Kampret!” dia mencibir, “gue kehujanan! Basahnya sampe dalem – dalem cuy, mana gue ngelewatin banyak genangan,  untung motor gue gak mati di tengah jalan, kalo setiap hari cuacanya kaya gini, bisa dua hari sekali gue nyuci motor nih”

Kawan saya ini berbicara dan terus saja mengeluh dengan hikmat seakan habis disuruh kerja rodi oleh J. P. Coen. Saya agak capek juga dengarnya.

“Bro, ngeluh melulu lo!” gue nyerocos balik, ”panas ngeluh, hujan ngeluh, capek juga dengernya bro, selaw lah, namanya juga musim hujan”

“Yaelah, manusiawi kali brooo” timpalnya.

Sejenak saya seperti tersentil, agak terganggu, tapi entah kenapa, saya merasa ada benernya. Mengeluh itu manusiawi? Apa iya? Mungkin iya. Mengeluh atas ketidaknyamanan itu manusiawi. Seperti saya saat ini yang tanpa sadar, sudah mengeluh karena terus mendengar kawan saya yang sedang mengeluh.

Hmm… saya kembali berfikir.

Mengeluh itu manusiawi, Apa iya?



Tuesday, November 25, 2014

Hanya jika sedang bosan.

Saya pernah membaca di suatu tempat, kreatifitas bisa dilatih jika seseorang melakukan kegiatan produktif saat sedang bosan.

Ya, saya adalah tipe bosanan yang sulit fokus pada suatu pekerjaan. Bukannya tidak bisa, hanya saja saya kadang tidak fokus. Hal ini sering terjadi ketika saya sedang bekerja terutama sehabis istirahat makan siang. Lelah dan bosan melihat makhluk kotak – kotak yang terus minta perhatian bernama Microsoft Excel. Bayangkan, padahal dia bukan pacar ataupun istri! dan hal itulah yang membuat saya kadang iseng ingin mengerjakan hal lain.

Selain bermain rubik, kadang saya suka iseng menggambar. Memang gak bagus bagus amat sih, tapi entah kenapa setelah selesai menggambar sesuatu, hati akan merasa puas.


Inilah beberapa gambar iseng – iseng saya.

Deadpool

Deadpool! Sosok anti hero susah mati dari marvel comic yang terkenal dengan bacot yang sepertinya minta di gampar. Ngomong gak pernah berhenti, ngocol, dan terkesan gak pake otak. Tapi keren. Mungkin yang jadi saingan cocot Deadpool cuma dua, Rindra dana a.k.a @Ponakannyaom yang seorang Stand up Komedian karena kejujuran sudut pandang dan omongannya yang tanpa saring namun keren, dan Ruhut Sitompul karena cocotnya yang bikin kita ragu kalo dia punya otak atau nggak.


L

Logo L! logo yang melegenda di dunia per-anime-an. Logo dari detektif bernama L atau Ryuuzaki dari serial anime Death Note karya Tsugumi Ohba. Entah kenapa pada waktu melihat logo ini bawaannya kagum aja. Padahal Cuma huruf L. Tapi ya keren.

Animenya pun gak kalah keren. Death Note menceritakan tentang baku hantam seperti Naruto dan One Piece. Bedanya, disini kamu akan ragu menentukan mana sisi yang baik dan mana sisi yang jahat, semua tergantung sisi idealisme penikmatnya. Beda lainnya adalah, baku hantam disini bukan pertempuran fisik, tapi pertempuran otak. Jadi, hati – hati kalau nonton atau baca Death Note… ntar pinter.

Buat yang belum pernah nonton Death Note, sungguh hari - harimu belum berkah. Bertaubatlah! Jika tiba - tiba kamu mati dan belum nonton Death Note, bisa repot. Kalau nanti ditanya, "Siapa Tuhanmu?" dan kamu bisa jawab, Alhamdulillah. Lalu ditanya, "Siapa Nabimu?" dan kamu bisa jawab, Alhamdulillah. Terus ditanya, "Apakah kamu sudah nonton Death Note?" dan kamu gak bisa jawab... Malu!



Killua Zaoldyeck
Dalam cerita – cerita action, biasanya jagoan selalu punya sidekick. Apa itu sidekick? Sidekick adalah pasangan pendukung yang selalu siap sedia membantu sang jagoan. Beberapa contoh pasangan jagoan dengan side kicknya adalah Kick Ass dengan Hit Girl, Batman dengan Robin, dan Superman dengan celana dalam merahnya yang selalu dia pakai di luar.

Killua Zaoldyeck! Adalah sidekick dari Gon Freecss, tokoh utama dari serial anime Hunter X Hunter. Killua sebetulnya berasal dari keluarga pembunuh bayaran Zaoldyeck yang tinggal di puncak Gunung Kukuru. Namun dalam perjalanan hidupnya, dia bertemu dengan Gon yang akhirnya membuat killua tersesat di jalan yang benar. Tidak lagi menjadi pembunuh bayaran, killua malah ikut – ikutan Gon untuk ikut seleksi ujian menjadi hunter. Biasa, masih anak – anak, labil! Tapi, Ya keren!

Dalam masa matang – matangnya menjadi remaja kekinian, Killua bukannya menghabiskan waktu berdelusi dengan menjadi wota, namun malah melakukan petualangan bersama Gon mulai dari ujian hunter bersama, berlibur bersama, memancing bersama, kadang mereka berantem karena selisih paham, lalu mereka akur lagi layaknya pasangan yang sudah saling paham. Saya kok curiga mereka homo.

Yap, gambar - gambar acak adut itulah yang kadang saya kerjakan hanya jika sedang bosan. Kalau kamu? Apa yang biasa kamu lakukan hanya jika sedang bosan?

Monday, November 24, 2014

Mari Jelajahi Seisi Negeri.

Sulit rasanya menjauhi apa yang pernah kita lakukan, lalu kita mencintainya. Kegiatan yang belakangan saya tahu, saya mengenalnya bahkan sejak bangku Sekolah Dasar. Tidak sengaja karena hanya mengikuti Ibu dan Alm Bapak, tapi terlihat dari foto, jelas saya menikmatinya. Usut punya usut, ternyata kebiasaan orang tua ini menurun ke kedua anaknya. Ya, saya dan adik saya “keracunan” kegiatan ini.

Travelling.

Kegiatan yang saat ini menjadi gaya hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Semua terobsesi dengan travelling baik ke dalam maupun luar negeri. Tak peduli  umur dan berapa tingkat penghasilan mereka, semua sibuk merencanakan akan pergi kemana di  bulan – bulan depan.

Sejujurnya, hal itu yang membuat saya agak malas akhir – akhir ini untuk kembali pergi berkelana mencium udara wangi semesta luar Jakarta. Pergi  bersama orang – orang yang melakukan kegiatan ini hanya karena lifestyle, prestige, atau untuk sekedar pamer foto di media sosial. Saya bahkan berfikir akan gantung ransel saja, mencoba menjalani dan menikmati hidup sebagai seorang karyawan dari masyarakat Indonesia golongan kelas menengah ngehe.

Tapi apa daya, pagi ini semesta seperti sedang bercanda dan menggoda.

Seperti biasa, setiap pagi saya awali kegiatan dengan membaca web portal berita. Beberapa web seperti detik.com, okezone.com, dan kompas.com biasa menjadi cemilan dipagi hari. Ada satu judul menarik yang tertangkap mata saya di kompas.com. judulnya “Kelak Nak, Kau Mesti Jelajahi Seisi Negeri.”

Tanpa sadar, saya otomatis meng-klik judul tersebut.

==================================================

Kelak Nak, Kau Mesti Jelajahi Seisi Negeri

Di Aceh, kau bisa menikmati tari seudati dan berteguk – teguk kopi. Lalu pada sepanjang bukit barisan, banyak kau jumpai ngarai dan danau. Dan pantainya nak, ada satu yang tak pernah ayah lupa, adalah Tanjung Tinggi di pulau Belitung yang indahnya serupa lukisan.

Jika sampai ke tanah jawa, singgahlah dulu ke pantai Bayah yang dipenuhi batu – batu alam nan elok. O ya nak, tak jauh dari situ, bisa pula kau jumpai saudara – saudara kita suku Baduy yang masih erat menjaga tradisi kakek moyang kita yang mulia.

Engkau telah berdiri di tatar Pasundan, nak. Bukalah mata, telinga, dan hatimu, untuk menikmati bunyi angklung, dengung, dan lekuk-liku suara penyanyinya yang memabukkan. Terus berjalan ke timur nak, maka akan kau jumpai borobudur, prambanan, suara gamelan, dan sejumlah tari – tarian yang penuh kelembutan.

O ya, nak. Jangan lupa, mampirlah sebentar ke Kecamatan Sukolilo, disana ada saudara – saudara kita warga Sedulur Sikep yang lebih dikenal sebagai “Orang Samin”. Mereka itulah nak yang pernah membuat malu hati ayah, lantaran mereka yang oleh negara “didakwa” tak punya agama, nyatanya lebih agamis dalam menjalani kehidupannya.

Terus berjalan ke timur, nak. Akan kau jumpai gunung – gunung cantik, reog ponorogo, karapan sapi, dan tentu saja ludruk yang sarat ujar – ujar. Jika sempat, naiklah kapal ke utara, di bumi borneo mungkin saja masih kau temui hutan raya yang dulu dibabati para pemegang hph. Tapi ayah yakin, disana kau masih bisa menyaksikan upacara suku dayak, orang utan, dan anggrek aneka rupa.

Ayah lupa nak, kau perlu juga menjenguk kenangan masa kecil saat kau bersama ayah mengelilingi pulau Bali. Ya, ya… pantai Kuta, Sanur, Tanah Lot, Bedugul, Tari Janger, Trunyan, dan tentu pula Tari Legong yang sudah menyebar ke negara manca.

Teruslah berjalan nak, terus ke timur. Ke tanah yang kurang diperhatikan orang – orang Jakarta yang lebih mabuk kuasa ketimbang mengangkat derajat saudara – saudara kita di bagian timur negeri. Wayang sasak, komodo, upacara nyalamak di laut, perburuan paus, upacara nyale, adalah keindahan yang ditawarkan oleh tanah ini.

Teruslah melangkah, nak. Sulawesi, ya, itu negerimu juga. Ayah pernah hinggap ke pantai bira, bulukumba tempat para petualang membangun kapal – kapal phinisi. Ya, teruslah melaju ke timur negeri, hingga ke papua untuk menyantap keindahan raja ampat, hutan – hutan perawan, serta aneka tumbuhan berkhasiat.


Sungguh nak, ini semua milik kita. Jika sebagian di antaranya telah tergadai para pemodal asing, jangan ragu, rebut kembali dari tangan mereka. Sebab semua yang kau punya, adalah hak dan juga takdirmu sebagai penghuni negeri ini. Sungguh, nak, kami dan juga pemimpin – pemimpin kami, pernah tak berdaya justru karena katamakan kami yang telah melalap mentah – mentah uang utang tanpa pernah ingat bahwa kami juga memiliki engkau, anak keturunan kami.


Catatan Raka: Moumantay!

“Ayo Raka sedikit lagi kita sampai!” teriak Dewa dari atas.

Saya menyeret kaki yang makin terasa berat karena telah empat jam berjalan di tengah hujan. Badan saya terasa dingin. Saya salah, saya lupa membawa jas hujan yang biasa saya pakai ketika mendaki gunung. Celana panjang dan baju dengan bahan yang agak tebal serta sarung tangan ternyata tidak cukup membantu dalam cuaca hujan badai seperti sekarang ini.

Di sekeliling saya, air dan kabut telah bercampur menjadi satu. Udara terasa basah namun nafas sedikit sesak, mungkin hal ini disebabkan karena tipisnya oksigen menjelang ketinggian 3000 meter diatas permukaan air laut (mdpl). Pepohonan di hutan ini bercampur dengan gelapnya malam. Mereka seakan menolak untuk dijadikan tumpuan kaki dan pegangan tangan karena terlalu basah.

Kami telah menempuh perjalanan selama empat jam dalam badai yang dimulai selepas maghrib. Tak biasa dan tak ada persiapan karena sebetulnya saat ini musim kemarau. Kepada kami, alam kembali mengajarkan bahwa prediksi manusia bisa salah karena ada Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Mengatur Segala Sesuatu.

“Raka, denger suara gua gak?!” teriak Dewa kembali yang sudah lebih dulu berada beberapa meter di atas saya. Ya, yang saya hadapi kali ini bukan hanya sekedar jalur tanah. Yang saya hadapi adalah tanjakan semi vertikal dengan cempuran tanah dan akar pohon. Dalam kondisi kering, jalur seperti ini sangat asyik untuk di daki. Namun dalam keadaan badai, jangankan asyik, melangkahpun sulit. Jalur tersebut jadi penuh debit air yang terlihat seperti air terjun kecil. Saya? saya harus melaluinya untuk sampai ke tempat dimana Dewa berada sekarang. Diatas saya.

Iya! Gue dengar!” teriak saya dengan nafas menderu. “Dewa! Gue gak tau nih kuat atau nggak sampai atas!”

“Hah?! Mou..m…y!!!” teriak Dewa yang tidak begitu terdengar jelas karena bertabrakan dengan suara hujan dan angin.

Memang saat ini tak ada yang bisa saya lakukan selain terus perlahan naik keatas. diam ditempat dan lama tak bergerak akan memperbesar resiko terkena hypothermia. Kembali turun, jelas bukan sebuah pilihan. Saya berusaha untuk fokus, jangan sampai ngantuk. Petir dan suara pohon yang diterpa angin tak berhenti saling menyahut.

PANGRANGO memang selalu luar biasa!

Sampai dengan titik ini, kami berdua telah bertemu dengan banyak sekali rombongan pendaki yang memaksakan mendirikan tenda di tepi jalur karena salah satu atau beberapa anggota rombongannya terserang hypothermia. Maklum, akhir – akhir ini kegiatan pendakian gunung semakin digemari. Yang lebih parah, banyak orang yang berfikir bahwa kegiatan ekstrem ini termasuk kegiatan jalan – jalan. Hanya sekedar niat dan kemauan, mereka langsung berangkat naik gunung. Tanpa persiapan mental, fisik, maupun perlengkapan yang memadai. Maka, wajar saja pemandangan yang kami lalui selama empat jam ini. Di sepanjang jalur pendakian, Saya dan Dewa hanya bisa geleng – geleng kepala dan membantu ala kadarnya.

“Oke! Gue ke atas!” teriak saya sambil berharap dapat menambah suhu badan menjadi lebih hangat dan semangatpun dapat bertambah.

“Sip! Yo!” Dewa  balas berteriak sambil jongkok dan mengulurkan tangannya.

Tebing tanah itu mungkin tak terlalu tinggi, hanya satu setengah meter. Menjadi sulit karena banyaknya air yang mengalir dimana dapat menyebabkan alas kaki menjadi slip dan sulit menapak.

Tangan kiriku mulai menjangkau akar diatas kepala. Setelah saya genggam dan saya pastikan akar tersebut cukup kuat, saya berusaha menarik badan yang lumayan agak gemuk ini. Saya coba mencari pijakan dengan kaki kanan namun sulit sekali. Akhirnya, setelah beberapa lama, kaki kanan saya menyentuh batu yang sepertinya dapat menjadi pijakan. Tidak terlalu terlihat karena sumber pencahayaaan hanya dari dua headlamp milik saya dan Dewa.

Dengan satu pijakan kaki kanan dan dibantu dengan tangan kiri menggenggam akar di atas kepala, saya mencoba menarik badan ini katas, saya hempaskan tubuh, dan saya coba jangkau uluran tangan Dewa dengan tangan kanan saya. Dan, berhasil!

Dewa menarik saya keatas dan kami langsung duduk di tanah pada saat itu juga. Nafas kembali menderu karena kelelahan. Lumayan, karena beban yang saya bawa di carriel juga tidak enteng. Carriel saya berisi tenda.

Badai tersebut belum berhenti. Tidak ada sama sekali tanda – tanda badai itu berhenti malam ini. Saya melihat jam, pukul 10.00.

“Apa gue bilang” Dewa mulai berbicara walaupun terengah – engah, “akhirnya bisa kan naik sampai sini, apa gue bilang, haha, Moumantay!!!”

“Hah?! Moumantay?” sahut saya bingung dengan istilah pria dengan rambut cepak ini. “Iya, iya, apa kata lo deh!”

“oke, yok, jangan kelamaan duduk, bisa "kelar" kita. Di ujung jalan ini kita tinggal belok kanan dan sampailah kita di puncak Pangrango. Kita dirikan tenda disana saja. Tempatnya agak lapang. Besok pagi, baru kita ke lembah Surya Kencana” ujar Dewa sambil mencoba berdiri di tengah hujan.

Setelah berjalan sekitar 15 menit seiring dengan bergantinya hujan menjadi gerimis, sampailah kita di tempat yang agak lapang. di tengah tempat itu terdapat rangka bangunan seperti pos dan ada tugu di sisi sebelah kiri.

“Yes! YES!” teriak Dewa ditengah gerimis. “Raka, selamat datang di Puncak Pangrango! Dari sini, kita bisa melihat puncak Gunung Gede di seberang sana. Yah, walaupun sekarang masih ketutup awan sih. Udah gua bilang! MOUMANTAY!”

“Wa, bisa gak sok kerennya besok pagi saja, dan apa sih moumantay itu?” saya menimpali. “capek nih, mending buka tenda, langsung ganti baju biar gak masuk angin, makan sedikit, dan langsung istirahat, yok”

“kampret lo! Hahaha, iya iya.., ayok.” Dia tertawa cengengesan dan membantu saya mengeluarkan tenda dari carriel.

Malam itu setelah perut kami terisi dan sholat isya di dalam tenda, mata dan fisik kami tidak mau menunggu lama untuk beristirahat. Setelah menerjang badai selama kurang lebih empat jam di hutan yang terkenal dengan jalur yang cukup sulit, kami pun terlelap.

***

“Ka… Ka…! Bangun cuy! Subuh! Terus liat Sunrise!” Dewa menggoyang – goyangkan badan saya.

Akhirnya saya terbangun dan melakukan sholat subuh. Dewa sudah di luar tenda. Terlihat beberapa bayangan pendaki lain di luar tenda yang menunggu Sunrise di Puncak Pangrango.

“Cepetan Ka, sunrise di sini lebih cepat dari Jakarta!” teriaknya lagi.

“Iya, iya.” Saya balas berteriak sambil keluar tenda dengan mengucek mata. Mentari di ufuk timur mulai menyala terang. “telat ya gue?”

“hm… moumantay, sekali lagi Raka, selamat datang di Puncak Pangrango” ujar Dewa bersemangat.

Semburat kuning mulai bercahaya di ufuk timur tanda pagi mejelang. Garis kuning itu seakan jadi pembatas antara jernih birunya langit pagi dengan lautan awan putih. Selalu berbeda namun tetap sama. Ya, sunrise di tiap puncak tak pernah sama. Masing – masing mempunyai sensasinya sendiri. Masing  - masing, istimewa dengan dengan caranya sendiri. Namun dia juga tetap sama, dimanapun, dia selalu memberi rasa syukur dan kagum. Memberi tanda kepada setiap manusia bahwa hidup selalu punya pagi.



Langitpun semakin terang, sama sekali tidak ada tanda – tanda kemarahan badai kemarin malam. Seiring matahari yang semakin menyingsing, para pendaki pun semakin banyak yang berkumpul merumpun.

“Lihat sebelah sana…” Dewa menunjuk sisi sebalah kanan dari Puncak Pangrango. “Itu Puncak Gede!”

Kawah gunung gede mengepul mengeluarkan asap kecil yang merangkak naik seakan ingin bergabung dengan langit dan awan. diatasnya terdapat garis panjang yang semua orang pahami sebagai Puncak dari Gunung Gede. Memanjang membentuk jalur seakan membimbing para pendaki untuk melihat cakrawala yang jauh lebih luas
Luar Biasa!


“keren ya?” gue berujar.

Walaupun saya sudah beberapa kali mendaki gunung. Tapi, ini adalah kali pertama saya ke Pangrango. Pasangan setia dari Gunung Gede. lebih istimewa karena semalaman kami dihantam badai. Sungguh, tak ada harapan sama sekali bagi saya untuk dapat sunrise di Puncak Pangrango ditengah kondisi cuaca seperti tadi malam.

“Iya, keren.., nih teh hangat. Gue dikasih segelas sama pendaki asal bogor tadi pagi. Mereka sudah kembali ke tendanya di lembah mandalawangi” Dewa menjulurkan segelas teh dengan asap yang masih mengepul.

“wahduh… ngerepotin amat kita. Hahaha. Thankyou” balas ku

“Ah, moumantay.” Ujarnya kembali

“ngomong - ngomong apa sih moumantay itu? penasaran gue. Dari kemarin lu kalo ngomong pake istilah moumantay itu.”

"Moumantay? Oh, Santai aja. Ya, Moumantay artinya santai aja..." ujar Dewa sambil tersenyum.