Selamat Datang

Salam kenal untuk kamu.
selamat datang, mari saling mengisi, lalu terhanyut dalam diksi. Moumantay. :)

Friday, December 26, 2014

Review Buku: Komik Penalti

Komik selalu mempunyai ruang tersendiri di hati saya. Layaknya wanita yang mempunyai senyum manis, dia selalu membuat saya tak sengaja mencuri pandang. Romantis gak kalimat pembukanya? Oke, maaf, saya merusak mood. Baiklah, lanjut!

Sebagai seorang karyawan yang berdedikasi dan aktif, siang kemarin saya melihat komik nganggur di rak buku kantor dan akhirnya saya menghabiskan siang itu dengan membaca komik. Tidak ada hubungannya memang, malah terkesan kurang ajar. Tapi ya sudahlah, gak apa – apa. Kita berdoa saja mudah – mudahan bos saya tidak membaca postingan ini.

Jadi, komik yang saya baca adalah ini :


Komik terbitan Mediakita ini di tulis dan di gambar oleh tiga orang. Yang pertama adalah Muhammad Bagus, seorang pelajar dari Yogyakarta. Yang kedua adalah Louis C.K.B, seorang mahasiswa Desain Komunikasi Visual dari Semarang. Yang terakhir dan yang paling senior adalah Agung Prabowo, seorang komikus profesional.

Komik ini berjudul PENALTI yang mempunyai kepanjangan Petualangan Fenomenal Tiga Pemain Amatir. Covernya cukup menarik perhatian dengan gambar tiga orang tokoh utamanya. Di covernya ada cap “KOMIK BOLA” yang menandakan bahwa komik ini bercerita tentang bola… ya, iya, lah… menurut ngana?!

Sejujurnya, dari pertama kali melihat design cover komik tersebut, saya mengira komik ini adalah komik komedi. Ternyata, memang iya! Minimal, diniatkan komedi. Sayangnya,  menurut saya kurang maksimal. Agak kurang nendang aja gitu dari sisi komedinya. Kurang mak tukjleb..!  kurang uuughhh..! kurang grrr...

“apa sih ndra…?”

“Iya… iya…” ujar saya kepada entah siapa.

Jika ekspektasi dari pembaca dirubah sedikit, yaitu komik yang menggambarkan segala situasi tentang sepakbola, naaah, komik ini cukup menjawab ekspektasi tersebut. Kita akan melihat mulai dari sudut pandang suporter, pemain, pelatih, bahkan penonton.

Terbagi menjadi tiga bagian, komik ini diawali dengan karya Muhammad Bagus. Tokoh utamanya adalah Monro. Di bagian ini, Muhammad Bagus menggambarkan banyak situasi yang berkaitan dengan Piala Dunia dan PES. Lebih bisa dibilang merupakan komik pengamatan polah tingkah sosial daripada sebuah komik komedi. Tapi bayangkan, creatornya (baru) anak tingkat SMA dan sudah punya karya dengan observasi yang tajam dan kaya!

Di bagian kedua, komik Louis C.K.B hadir dengan cukup mengelitik. Premisnya unik: membuat tim sepakbola dimana anggotanya tidak mengerti apapun tentang sepakbola. Dengan tokoh utama Lubis sebagai kapten sepakbola paling goblok sedunia, komik ini mulai beranjak lucu.

Di bagian akhir, Agung Prabowo membuktikan pengalaman ngomiknya lewat susunan gambar komik strip namun punya satu plot cerita yang nyambung antar judul satu dengan judul selanjutnya. Dia bercerita tentang Indonesia yang menang melawan Spanyol di semifinal piala dunia U-20 dan harus melawan Jepang di babak final. Seru, karena ketika melawan Jepang, Indonesia harus merubah taktik dari 8-0-2 lalu ke 7-1-2 dan akhirnya 10-0-0 dan diakhiri dengan drama adu penalti. Seru, kan? Iya, delusi dan mimpi memang punya batas tipis. Jelas lucu dan menghibur! Dan yang paling penting, mengakhiri deretan komik ini dengan status Khusnul Khotimah.

Akhir kata, komik ini cukuplah untuk mengisi waktu luang, selain karena bebas micin, komik ini juga punya cerita yang ringan dan mudah dicerna, bahkan oleh otak saya yang terlanjur gesrek ini.  Jangan membandingkan komik ini dengan Dragon Ball atau Kungfu Boy. Karena memang beda. Walaupun beda, jangan juga sekali – kali membandingkan komik ini dengan TV One. Oke? Sekian.

Friday, December 19, 2014

Review Film: Pendekar Tongkat Emas



Saya melihatnya seperti Avengers dalam perfilman Indonesia. Sejak pertama kali saya melihat promonya di twitter, tanpa ada pertimbangan lagi saya merasa harus menonton film Pendekar Tongkat Emas. Deretan pemeran seperti Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Tara Basro, dan bahkan sang kuda hitam Eva Celia sangat memicu rasa ingin tahu lalu menimbulkan tanya, ‘seperti apa film ini sebenarnya?’. Semalam terjawab sudah, Mira Lesmana dengan MILES Film-nya bersama dengan sutradara Ifa Isfansyah memukau penonton dengan drama persilatan yang keren dengan balutan pemandangan yang memanjakan mata.

Sulit sekali rasanya membuat review Pendekar Tongkat Emas tanpa meberikan spoiler. Film ini mempunyai twist yang tidak disangka dan terjadi di awal paruh pertama film.

Dikisahkan di sebuah negeri (kita pura – pura gak tau aja, ya, kalo setting-nya di Sumba. Biar terdengar keren) ada seorang guru silat yang sudah uzur, Cempaka (Christine Hakim) namanya. Diketahui, bahwa sebelumnya Cempaka mempunyai padepokan silat bernama Perguruan Tongkat Emas. Namun, karena suatu hal, Ia mengucilkan diri dan mengajak serta empat muridnya untuk diajak berlatih bersama. Si buta dari gua hantu bukan salah satunya.

Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia), Gerhana (Tara Basro), dan Angin (Aria Kusumah) adalah para murid dari Cempaka. Mereka adalah calon pewaris sejati dari Tongkat Emas yang saat itu masih menjadi milik Cempaka. Kamu bingung kenapa list diatas tidak ada Nicholas Saputra? Tenang saja, dia masih seperti yang dulu, hadir ketika madingnya siap terbit.


Di suatu siang, dalam prosesi pewarisan Tongkat Emas ke generasi selanjutnya, Cempaka terbunuh. Seperti film – film keren pada umumnya, Cempaka dibunuh oleh orang dekatnya. Siapa? Kepo deeeh… nonton dong, ah.

Para murid Cempaka pun akhirnya berduel untuk mendapatkan Tongkat Emas, lambang kekuasaan dari perguruan yang menggunakan nama yang sama. Wajar saja mereka berseteru, jika saja saat itu sudah ada Pengadilan Agama yang mengurusi hak waris, mungkin perseteruan mereka bisa dihindari. Tongkat emas tersebut tinggal dijual dan hasil penjualannya tinggal dibagi – bagi ke keempat muridnya. Laki – laki mendapat hak dua kali lebih besar daripada wanita. Tapi mungkin hal tersebut hanya terjadi jika film ini berubah judul menjadi Pendekar Tongkat Emas Syariah. Nyatanya, mereka tarung drajat untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi pewaris sejati tongkat emas.

Dalam perjalanan ceritanya, salah seorang murid Cempaka berguru kepada pendekar sok misterius bernama Elang (Nicholas Saputra). Kan sudah saya bilang, dia masih seperti dulu, juga dengan sifat sok misterius-nya. Karena dia sok misterius, maka mari selesaikan review ceritanya sampai disini karena sisanya adalah spoiler.

Secara keseluruhan, saya sangat – sangat puas dengan film ini. Mengingatkan saya dengan film silat jaman dulu seperti pendekar rajawali dan si buta dari gua hantu. Penamaan pendekar yang unik seperti Elang, Gerhana, Cempaka, Naga Putih, Cupang Alay, Cabe – Cabean Hiphop kental sekali dengan memori saya akan tontonan silat semasa kecil.

Dalam sebuah interview dengan media, Mira Lesmana mengatakan bahwa budget untuk membuat film Pendekar Tongkat Emas ini mencapai 25M (milliar, bukan meter) dan merupakan film dengan dana produksi terbesar yang pernah dia buat sejauh ini. Nilai yang wajar untuk sebuah film drama kolosal yang di garap dengan modern dan diperankan dengan aktor dan aktris nomor wahid Indonesia. Cobalah rasakan sensasi menonton film yang nilainya kurang lebih Rp. 200.000.000-an per menit.


Meragukan kemampuan aktor macam Christine Hakim, Reza Rahadian, dan Nicholas Saputra dalam hal akting sama saja meragukan keaslian kumis Mas Adam Suseno, suaminya Inul. Akting mereka sempurna dan tanpa cela. Tara Basro pun, menurut saya, berakting sangat baik dengan mampu mengimbangi tiga aktor sebelumnya. Eva Celia, si kuda hitam, dengan peran sekompleks Dara di film tersebut, dengan aktingnya telah mampu menjawab keraguan banyak orang (paling tidak, teman – teman saya) yang beranggapan dia hanya aji mumpung karena merupakan keponakan dari Mbak Mira. She is an actress now. Semua pemeran sangat total dalam perannya dimana terkadang emosi pun sampai terbawa ke penonton. Bahkan, dalam salah satu adegan gelud, penonton di sebelah saya tak henti mengepalkan tangannya sambil bergumam, ‘mampus lu! Mampus lu! Mampus lu..!’. Dia gemes sendiri ngeliat filmnya, saya gemes sendiri mau toyor kepalanya.

Keseluruhan film ini luar biasa. Menurut saya sebagai penikmat, tidak ada yang perlu di kritisi. Jika ada yang protes karena beberapa adegan dimana seseorang bisa terlempar jauh karena tendangan atau pukulan, ya itulah sesungguhnya film silat. Jika ada yang mengeluh beberapa potongan efek kurang sempurna, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan dan Tas Ransel Deuter, kawan.  Dan jika ada yang protes mengapa di film ini tidak ada naga terbang… saya bingung jawabnya. Paling yang membuat saya sedikit memicingkan mata adalah ketika beberapa kali ganti adegan dari malam ke siang hari yang mendadak. lensa mata harus menyesuaikan cahaya yang masuk. Sisanya… cool!

Ketika saya menulis tulisan ini (hari kedua), sudah ada 143 layar bioskop yang menayangkan Pendekar Tongkat emas dari yang sebelumnya hanya 125 layar. Tontonlah untuk mengurangi persentase tingkat kekurang-updetan alias kudet masyarakat Indonesia.

Sekian review Pendekar Tongkat Emas dari saya, lebih kurangnya mohon maaf.
Wassalamualaikum wr. wb.

Wednesday, December 17, 2014

Review Film: The Hobbit: The Battles of the Five Armies

Setelah dua seri sebelumnya yaitu The Hobbit: The Unexpected Journey (2012) dan The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013), di tahun 2014 ini, seri ketiganya yaitu The Hobbit: The Battle of the Five Armies telah di rilis ke seluruh penjuru dunia. Wow! Bukankah sebuah kalimat pembuka yang basi?!


Kali ini, seri yang diadaptasi dari novel karangan J.R.R Tolkien telah mencapai klimaksnya. Setelah perjalanan panjang dari Shire, Bilbo Baggins (Martin Freeman) si Hobbit -manusia pendek dengan ukuran kaki yang tidak porporsional serta banyak bulu di kakinya- bersama para Dwarf telah mencapai Gunung Erebor. Misi telah selesai, namun ternyata cerita belumlah usai (azeek!). Justru ada konflik baru yang muncul ketika mereka sampai di sana. Apa itu? Nonton!

Secara garis besar, The Hobbit: The Battle of the Five Armies adalah film yang fokus tentang perang besar antar makhluk dengan ras yang berbeda. Di pembukaan, Kita akan dibuat terkesima oleh epicnya perang antara penduduk Lake Town yang diwakili oleh tokoh Bard The Dragon Slayer (Luke Evans) melawan Smaug (Benedict Cumberbatch), naga laki – laki dengan kemarahan level wanita datang bulan.


Selanjutnya kita akan disuguhkan pertempuran jarak dekat penuh sentuhan magic antara Elves yang di pimpin oleh ibu suri Galadriel (Cate Blanchett) yang bersama Saruman (Christopher Lee) melawan Necromancer untuk membebaskan mbah – mbah sok kuat bernama Gandalf (Ian McKellen).


Pertarungan jarak dekat antara sang Raja Dwarf Thorin Oakenshield (Richard Armitage) melawan Pemimpin Orc bernama Azog (Manu Bennett) yang bengis dan licik juga tak kalah epic dengan lainnya. Pertarungan dengan semangat dendam dari zaman dahulu antara dua ras.


Dan yang paling epic di antara yang epic, tentu saja perang besar di medan tempur antara lima ras yang berbeda yaitu Dwarf, Human, Elves, Orc, dan Wizard yang muncul terakhir. Pertempuran  yang memperebutkan harta dan tahta tanpa wanita di Gunung Erebor. Pertempuran untuk me-reclaim kekuasaan atas seluruh benua. Sangat memanjakan mata karena bukan hanya tusuk, tebas, darah, dan mayat, tapi kita juga disuguhkan koreografi perang yang ciamik nan aduhai. Sangat menggambarkan sub judul dari film ini, The Battle of the Five Armies.


Apa? Anda bertanya dimana peran Hobbit? Sedikit! Pengaruh si Bilbo paling cuma 10% dari keseluruhan plot cerita. Jika peran tersebut diganti sama Saipul Jamil pun, tidak akan berpengaruh banyak sama jalan perangnya. Paling dia nyanyi – nyanyi dikit, terus elves merasa terganggu. Terus Saipul Jamil dipanah. Terus dia mati di tempat. Film habis. Penonton tertawa. Dewi Persik gak peduli. Saipul Jamil pun dicuekin. Kasian ya Saipul Jamil…  ckckck.

Oh maaf, jadi menyimpang. Mari lupakan sementara Saipul Jamil.

‘sungguh teganya dirimu, teganya, teganya, teganya,…’ terdengar nyanyian Saipul Jamil di kejauhan. Cuekin aja!

Bagi orang yang hanya sekedar nonton karena gaya – gayaan dan sok mengikuti trend di medsos tanpa tahu jalan cerita awalnya, kamu mungkin akan kebingungan dengan tampang bego sambil ngedumel, ‘kok ini bisa begini? kok itu bisa begitu? Tuhaaaan… kenapa ya gue jomblo?!’

Tapi, jika kamu sudah menonton kedua seri film The Hobbit sebelumnya dan menunggu jawaban atas beberapa pertanyaan… cie ciee nunggu jawaban nih ye! Kamu mungkin akan mendapatkannya walaupun tidak kesemuanya.

Bagi saya, sebetulnya ada pertanyaan yang tidak sempat terjawab di film ini. Bagaimana nasib pemegang terakhir Arkenstone? Apakah di menjadi raja? Apakah dia membuat batu tersebut sebagai mata cincin? Ataukah dia menjual batu tersebut ke Jatinegara? Tidak di beri tahu.

Overall, film ini memang menjadi pamungkas yang pas dari seri The Hobbit. Untuk yang belum menonton dua film pertamanya, niscaya tidak akan nyambung dengan ceritanya karena seri ketiga ini sangat terkait dengan kedua film tersebut. Segeralah manfaatkan teknologi juru selamat bernama Ganool atau Indowebster.

-Sekian-


Tuesday, December 16, 2014

Destinalog Gunung Galunggung

Bulan maret 2013, saya sempat melakukan ekspedisi kecil – kecilan ke dua gunung yang kurang populer, Gunung Tampomas dan Gunung Galunggung. Bagi kamu yang sudah baca buku Penunggu Puncak Ancala terbitan Bukune, mungkin kamu sudah tahu bagaimana serunya perjalanan saya di Gunung Tampomas. Bagi yang belum, Silahkan beli dan baca! Iya, ini paragraf promosi…

Jadi, setelah dari Gunung Tampomas, beberapa dari kami melanjutkan ekspedisi ke Gunung Galunggung. Gunung dengan tinggi 2.167 mdpl yang berada 17 Km dari pusat kota Tasikmalaya. Gunung Galunggung merupakan gunung vulkanik yang masih aktif, namun sedang tertidur pulas. Dia terakhir meletus tahun 1982 pada bulan Mei sampai dengan Januari 1983 selama 9 bulan. Letusan itu menyebabkan 22 desa ditinggal oleh para penghuninya dan menyebabkan banyak yang meninggal karena kecelakaan, kedinginan, dan kekurangan pangan.

Namun saat ini, dia seperti gunung – gunung lainnya ketika pasca letusan hebat. Dia menjadi cantik.

Dengan mencarter angkot, Saya bersama ketiga orang teman sampai di kaki gunung Galunggung pada malam hari, sekitar pukul 11.00 malam. Kami disambut oleh deretan warung yang terlihat kosong karena hanya buka pada waktu pagi hari. Yang menjadi perhatian kami saat tiba disana adalah sebuah kendaraan model SUV mewah berwarna hitam dan sebuah mobil pick-up. Disekeliling mobil tersebut terdapat beberapa warga, mungkin sekitar 2-4 orang yang sepertinya sedang berjaga – jaga. Mereka hanya mengenakan kaos, celana jeans, kupluk, beberapa orang terlihat melilitkan sarung ke lehernya, dan kesemuanya menggenggam senter.

“Ada apaan nih?” Pikir saya saat itu dalam hati.

Afandi, orang yang paling senior di kelompok langsung menyuruh kami untuk beristirahat di salah satu warung sambil menunggu pagi sementara dia izin ke toilet. Toiletnya terletak di depan mushola dan agak gelap. Afandi berlari – lari kecil kesana.

Tidak berapa lama, Afandi kembali dengan wajah yang terlihat agak tegang.

“Kenapa lo?” tanya saya

“Nggak, gue tau jawabannya kenapa ada mobil mewah disini.” Sahutnya

“Kenapa?” tanya kami semua

“Tadi pas gue ke toilet, gue sempet ngeliat di toilet yang sebelah kanan ada laki – laki pake baju sejenis gamis berwarna putih sedang mandi sambil ngomong – ngomong gak jelas gitu. Sepertinya sih semacam doa. Macam ritual gitu. Dari baunya, air tempat dia mandi sepertinya juga sudah dicampur sama kembang tujuh rupa, menyengat. Di depan kamar mandi ada penjaganya, bodyguard sepertinya. Dua orang. Ya gue permisi aja ke mereka dengan bilang mau ke toilet sebelahnya. Untungnya dikasih.”

Kami yang mendengarnya jadi rada merinding. Malam itu, memang hanya kami rombongan pendaki di gunung galunggung. Berarti bersama dengan rombongan bermobil itu, hanya ada dua rombongan di tempat tersebut. Maklum, bulan itu bukan bulan dengan cuaca yang baik untuk pendakian dan seperti yang saya bilang di awal, Gunung Galunggung juga bukan gunung yang populer.

“udah, kita istirahat aja, tidur. Gak enak sama mereka. Pura – pura gak tau aja” ujar Afandi.

Kamipun mulai mengatur posisi untuk tidur. Di warung yang tidak begitu besar, Alhamdulillah, kami bisa tidur dengan kaki yang bisa diluruskan walaupun dengan sedikit berdesakan. Saya sendiri sudah sangat mengantuk malam itu karena sore harinya kami baru turun dari Gunung Tampomas dan langsung melanjutkan kesini.

Tidak berapa lama, terdengar suara mobil dinyalakan yang membuat mata saya gagal terpejam. Ternyata rombongan tersebut sudah akan pergi. Sepertinya “ritual” tersebut telah selesai. Sekitar tiga orang berjalan ke arah mobil. Afandi sendiri juga melihat rombongan tersebut. Sepertinya dia ingin mengidentifikasi siapa orang yang mandi dengan mengenakan gamis berwarna putih di toilet tadi. Tampaknya, tak seorang pun yang mengenakan gamis tersebut. Semuanya memakai pakaian rapih, jas hitam dan celana bahan. Mungkin orang yang mandi tadi juga telah ganti baju.

Dua teman kami, Hani dan Aga juga telah terjaga dari tidurnya untuk sekedar melihat kepergian rombongan tersebut. Terlihat bapak – bapak dengan badan yang agak gemuk masuk ke kursi penumpang sementara dua orang lainnya duduk di depan. Sepertinya dia bos-nya. Dan mungkin yang melakukan “ritual” di toilet tadi.

“hah, akhirnya mereka pergi juga.” Ujar Aga

“Eh liat – liat, kaca mobilnya di buka.” Hani sedikit berbisik. Memang terlihat kaca mobil SUV mewah di kursi penumpang, tempat si bos duduk, sudah terbuka. Laki – laki berbadan gemuk tersebut terlihat agak melongokkan kepalanya keluar dan melihat ke arah belakang mobilnya.

“Assalamualaikum.. “ ucap dia sambil menganggukkan sedikit kepalanya.

Refleks, kami berempat melihat ke arah belakang mobilnya. Arah tujuan si laki – laki itu mengucapkan salam. Hanya terlihat ada semak yang seperti pembatas antara mobil tersebut dengan toilet. Gelap. Tidak ada siapapun. Hanya terdengar suara knalpot mobil yang siap melaju di malam itu. Suara yang makin lama makin mengecil seiring dengan menjauhnya mobil tersebut dari warung tempat kami berbaring. Melaju ke arah tempat kami datang yang berarti mobil itu pergi ke arah kota Tasik.

“bah, udah, tidur lagi lah yuk” ajak Afandi dan kamipun kembali berbaring dalam kantung tidur masing – masing.

“Waalaikumsalam…!” tiba – tiba terdengar suara serak dan berat dari arah belakang kami. Sepertinya berasal dari tempat yang kami lihat sebelumnya. Suara yang berasal dari semak yang memisahkan mobil dan toilet. Kemudian hening.

Saat itu, kami tiba – tiba saling pandang satu sama lain. Artinya, bukan saya saja, tapi teman – teman saya juga mendengar suara yang sama. Itu nyata! Pelan – pelan kami meluruskan tatapan ke langit – langit warung tersebut, kami kembali mencoba menutup kelopak mata dalam diam sambil menunggu degup jantung yang kembali normal serta menunggu bulu kuduk untuk berhenti merinding.

Sekian ceritanya. Oiya, itu kisah nyata.

Sekarang, mari kita masuk ke Destinalog-nya. toret toreeeeet... (toret toreeeeet... merupakan keterangan tambahan supaya suasana ceria lagi)

Menikmati pagi di kaki Gunung Galunggung berarti mendapat sarapan berupa pemandangan aduhai kota Tasik dari ketinggian. Bangunan dan pepohonan yang terlihat mungil bercampur dengan kumpulan kabut pagi di kejauhan. Pemandangannya seperti ini :



Jika kita ingin mendaki Gunung Galunggung, sebenernya ada cara mudah yaitu dengan melalui tangga. Tapi tolonglah… tangga itu hanya untuk mental bocah dengan umur 12 tahun kebawah atau orang tua penderita reumatik dan asam urat. Tapi kalaupun kamu tetap ingin naik tangga, ya gak apa – apa juga. Pfft… oke, oke, maaf. Tangganya berada persis di parkiran kendaraan.


Tapi, saya sih menawarkan sesuatu yang lebih oke, yaitu melewati jalur penangkap burung. Tenang saja, tujuannya sama kok dengan menggunakan tangga yaitu bibir kawah gunung tersebut. Hanya saja, dengan menggunakan jalur alternatif tersebut, kamu akan sampai di sisi yang berbeda di bibir kawah. Selain itu, dengan melewati jalur tersebut, kamu akan menikmati dinding – dinding tebing yang memanjakan mata.

Berbeda dengan tangga yang menggunakan beton, jalur penangkap burung masih alami dengan campuran tanah padat dan pasir vulkanik. Memang sedikit lebih berat dan lelah bila dibandingkan dengan menggunakan tangga, namun bukankah sunnatullah-nya seperti itu? Sesuatu akan terjadi lebih indah jika kita berusaha sedikit lebih keras.

Jika kamu ingin melewati jalur penangkap burung tersebut, maka perhatikan baik - baik foto dibawah ini.


Kamu lihat di foto tersebut ada mushola berwarna hijau, nah di depannya ada toilet. Iya, toilet yang sama dengan cerita di awal post ini J. Bukan, bukan kesitu. Cuma mau ngingetin saja dengan cerita di awal. Oke, jalurnya berada di belakang mushola itu. Kamu lihat sutet yang menjulang ? Nah jalurnya persis melewati samping sutet tersebut. Pintu masuk jalurnya berada di antara warung terakhir di sebelah kiri dan mushola itu.

Jika sudah berada di jalur seperti ini.


Berarti kamu berada di jalan yang benar, kawan. Bergembiralah…

Ketika sudah sampai di ujung jalur tersebut, berarti kamu sudah sampai di bibir kawah. Lihatlah pemandangan di sekelilingmu. Sebelah kanan masih tebing yang tersambung dengan titik tertinggi Gunung Galunggung. Sebelah kirimu adalah jalur bibir kawah yang akan membawa kamu ke titik terakhir dari jalur tangga. Dan di depan kamu adalah kawah dimana setengahnya merupakan danau vulkanik dan setengahnya lagi telah menjadi daratan berhampar hijau. Menenangkan.


Jika sudah di titik ini, kamu mempunyai dua pilihan. Pertama, jika kamu ingin santai tapi jelas tidak seperti di pantai, kamu bisa langsung melipir ke arah kiri mengikuti jalur bibir kawah dan berleha – leha di warung yang berada tepat di ujung jalur tangga. Namun, jika kamu penyuka tantangan, ingin tahu banyak hal, wanita, dan sedang jomblo, maka kamu cocok untuk saya… eh, anu, maaf bukan itu maksud saya.

Oke,

Fokus Indra, fokus!

Baik, mari kita ulangi kalimat terakhir.
Namun, jika kamu penyuka tantangan, ingin tahu banyak hal, dan masih mempunyai waktu, maka kamu punya pilihan untuk turun ke kawah menikmati pemandangan berupa tembok tembok gunung di sekeliling kamu. Bahkan jika ada yang ingin (baca: berani) bermalam di kawah, kamu bisa mendirikan tenda dimanapun. Tentu kamu juga bisa ber-narsis ria di tengah kawah tersebut. Seperti ini lah kira – kira :


Untuk jalur kembali ke parkiran, dari kawah kamu bisa kembali naik ke titik percabangan yang sudah saya jelaskan tadi dan tinggal mengambil jalur berpasir ke arah warung – warung di bibir kawah. Selanjutnya kamu tinggal turun melalui tangga menuju parkiran dan jangan lupa untuk menghitung jumlah anak tangganya. Menurut data di internet, sih, totalnya 620 anak tangga, namun ketika kami yang berjumlah empat orang ini menghitung, kami mendapatkan angka yang berbeda satu sama lain.

Itu saja, terima kasih sudah membaca Destinalog ini sampai habis. Sukses untuk yang mau ke Gunung Galunggung dan sampai jumpa di Destinalog berikutnya. Kanpai!

KANPAI!!!

Monday, December 15, 2014

Review Film: Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

“Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu.
…Manusia terlahir ke dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Namun di detik pertama kita meluncur keluar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang kau lego satu per satu demi sesuatu bernama cinta”


Magis. Itulah kutipan dari buku bersampul biru dengan judul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang saya baca pertama kali pada waktu SMA. Novel yang ditulis oleh wanita yang saat itu lebih dikenal sebagai penyanyi daripada penulis, Dewi Lestari. Saat saya mulai membaca, tak ada ekspektasi apapun terhadap cerita novelnya. Setelah membuka lembar pertama dan lembar – lembar selanjutnya dari novel itu, saya jatuh cinta dengan plot ceritanya yang unik, serta kagum dengan pilihan kata – katanya. Singkronisasi plot dan kata – kata yang bagai instrumen pengiring mahakarya, magis.

Sudah lebih dari 10 tahun sejak pertama saya “berkenalan” dengannya. Akhirnya, di tahun 2014 ini novel tersebut difilmkan. Diproduksi oleh Soraya Intercine Film, Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh siap untuk ditonton penikmat seni visual. Dan setelah agak “telat” karena beberapa kesibukan, akhirnya semalam saya sempat menonton film tersebut.

Dalam review ini, saya mencoba untuk tidak membandingkan antara film dengan novelnya. Mengapa? Sederhana, saya lupa setiap detail kecil cerita di novelnya dan cukup malas untuk membuka kembali saat menulis ini. Tapi, memang begitulah seharusnya film dinikmati sebagai seni visual. Dinikmati dengan non-ekspektasi tanpa diperbandingkan dengan apapun, termasuk novelnya.

Meminjam kata dari teman saya, “bagi awam film Supernova hanya akan terlihat seperti drama perselingkuhan”. Setelah saya menonton langsung, saya pun meng-amin-i. Tapi inilah Supernova dimana plot hanya sebagai sarana untuk media kontemplasi hidup. Film ini tentang hidup.


Cerita di film ini mengikuti plot cerita di novelnya. Dua orang pria yang sedang belajar di luar negeri bermimpi dimana 10 tahun sejak saat itu, mereka ingin membuat sebuah mahakarya, sebuah novel fiksi ilmiah yang menjembatani seluruh percabangan ilmu pengetahuan. Di tempat lain 10 tahun kemudian, seorang pengusaha muda bertemu dengan wanita cantik dan jatuh cinta kepadanya. Cinta yang tidak merubah keadaan bahwa si wanita telah memiliki suami. Di saat yang sama, ditengah gemerlapnya kota, seorang model cantik melacurkan dirinya kepada para pejabat dan pengusaha kaya untuk menambah pundi uangnya.

6 tokoh. 3 cerita. 1 universe. Supernova.


Buat saya, plot ceritanya tanpa cela. Menghormati plot originalnya. Penyatuan 3 plot yang halus dan memenuhi unsur sebab akibat.

Uniknya untuk sebuah hiburan visual, saya merasa orang dengan tipe auditori akan jauh lebih menikmati film ini. Narasi di awal, tengah, dan bahkan akhir yang penuh kalimat magis dan sains hanya akan tertangkap dengan sempurna oleh penonton dengan indera pendengaran yang peka. Hampir 50% film ini berisi narasi monolog dengan resiko yang membuat penonton bosan, namun diselamatkan oleh pemilihan kata – kata indah oleh penulis skenarionya, Donny Dhirgantoro (penulis novel 5cm, 2)

Yang paling manis dari film ini adalah lantunan soundtrack dari Nidji. Terasa pas di setiap momen adegan. Tidak berlebihan. Nidji seperti mengukuhkan kalau mereka terdepan di dalam dunia soundtrack perfilman Indonesia.

Dari banyaknya sisi positif, sayangnya ada sedikit kekurangan yang menurut saya fatal, para cast yang kurang mengarakter. Herjunot Ali, Fedi Nuril, Raline Shah, Arifin Putra, Hamish Daud, dan Paula Verhoeven terasa kurang maksimal di karakter mereka. Reuben dan Dimas dengan reaksi dan interaksi yang terkesan nanggung, yang mungkin karena, ya gituuu J. Ferre yang kadang terasa kurang cocok dengan jas yang terlihat kebesaran. Rana yang aaah… kurang drama putri, kurang dramaaa. Arwin yang gitu gitu aja. Dan Diva, ah, perempuan tinggi yang mempunyai bentuk tubuh berkualitas model ini kekurangan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seorang diva, kharisma.

Entah bagaimana proses casting yang dilakukan oleh pihak produksi. Walaupun tidak semua, tapi saya merasa pemilihan para cast tersebut seperti masih memanfaatkan euforia dari kesuksesan film 5 cm.

Bagaimanapun, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah sebuah karya seni yang patut di apresiasi sebagaimana karya seni lainnya, dengan rasa dan dengan hati. Penilaiannya tak sekedar benar atau salah, bagus ataupun jelek, hitam ataupun putih. Penilaiannya bersifat subjektif sempurna.

Seperti kata Sang Supernova tentang manusia. Jika seseorang memandang hidup dengan sebatas hitam dan putih, maka dia harus siap dengan guncangan turbulensi.

Seperti pembukanya, mari kita tutup review ini dengan quote yang tak kalah manis.

“Kau dalam ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti, namun aku selalu disini, menantimu. Entah mengapa”
(Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh – Dee)

Cinta Derita

Kawan,
Apakah ini sesak di dada?
Sebuah rasa yang melanda
Resah gelisah yang sungguh ada

Apakah ini di dalam kepala?
Tetiba datang bagai tiupan sangkakala
Tergambar makhluk yang jelas bukan berhala

Kawan,
Biar kugambarkan padamu
Wajahnya tak membuat jemu
Senyumnya menggetarkan hatimu

Sayangnya, aku tahu dia semu
Sayangnya aku sadar, di hati ini dia hanya tamu
Sayangnya dia bukan milikku, walau kami sering bertemu

Tolong katakan padaku kawan,
Apakah ini gebu cinta
Ataukah ini deru derita

Jakarta, 15 Desember 2014
Indra Maulana

Monday, December 8, 2014

Review Buku: Ngubek - Ngubek Jakarte.

Mau review buku gratisan ah. Buku hasil dari iseng - iseng ikut lomba creative writing challenge sabtu kemarin di Goodreads Festival 2014.

Ngubek – Ngubek Jakarte. (harus pake e, harus!)


Sebelumnya, Apakah kamu tahu buku terkenal yang berjudul Jakarta Undercover buatannya Moammar Emka? Buku yang bercerita tentang Kota Jakarta dari sisi yang “berbeda”. Apa? Kamu tidak suka baca buku? Lalu, apa gunanya kamu hidup di dunia ini, hah?!

Gini aja,

Seperti yang gue tulis tadi, Buku Jakarta Uncercover menceritakan tentang Jakarta dari sisi yang “berbeda” maka, bolehlah saya bilang buku Ngubek – Ngubek Jakarte ini banyak bercerita tentang “cover”nya Jakarta yang tampak mata. Kondisi dan penampakan di atas tanahnya ibukota. Observasi lingkungan sekitarlah, pokoknya.

Buku yang diterbitkan oleh penerbit Bukune ini ditulis oleh Cai @Caiaja. Walapun namanya Cai, bukan berarti dia terbuat dari air, masih manusia yang punya hidung dan bokong kok. Gue cuma kenal tampang sih, dan pernah ikut ngeramein ketika dia perform akustik sekaligus soft launching buku Ngubek – Ngubek Jakarte di boothnya Gagasmedia Group di Festival Pembaca Indonesia (Goodreads Festival). Menurut keterangan yang dibuku, Cai takut cicak, gak tau sih kalo buntutnya, kan bisa lepas sendiri tuh, siapa tau malah di gulai. Cita – citanya punya indekos tiga lantai, mungkin Cai berprinsip cita – cita setinggi tiga lantai lebih realistis daripada setinggi langit.

Bukunya gak terlalu berat. sepertinya sih, lebih berat beban hidup kamu. Enak dibaca dan gampang dicerna, dan yang terpenting, tidak mengandung santan. Oh maaf, pengaruh saya lapar pada saat menulis mungkin.

Jadi,
Apakah kamu tahu asal nama daerah cawang? Di buku ini ada.

Atau, apakah kamu tahu lambang DKI Jakarta ternyata bukan monas? Di buku ini di kasih tau.

Atau, percayakah kamu kalau ternyata bumi itu datar? Musyrik kamu! Udah musyrik, gesrek pula!

Banyak hal yang bisa kita tahu tentang Jakarta dari buku ini. Mulai dari banyaknya penamaan hingga akhirnya menjadi DKI Jakarta, sampai dengan patung – patung yang ternyata ada nama resminya. Menceritakan juga banyaknya jenis transportasi di Jakarta, sampai dengan jenis ragam masyarakatnya. Kondisi musiman kota Jakarta pun dibahas di buku ini dan bagaimana cara “survive”nya.

Sebetulnya, yang tersaji di buku ini bisa dilihat di sekeliling kita semua. Namun menurut saya, Cai berhasil memberikan penjelasan tentang Jakarta dengan sistematis lewat bahasa yang enak walau tidak mengandung santan, loh kok balik lagi. Oke, oke, maaf.

Awalnya, saya berfikir, apa ya motivasi Cai menulis buku tentang Jakarta yang semua orang bisa lihat, apakah hanya kekurangan kerjaan dan kelebihan energi lalu iseng menulis? Atau habis keserempet angkot lalu tiba – tiba dapat ide? Atau cintanya habis di tolak oleh abang – abang penjual arum manis di pasar malam karena kalah manis oleh barang dagangannya, lalu galau, lalu nulis? Entah. Satu hal yang pasti, buku ini lucu!

Jadi, bagi kamu wahai bocah SD, alay SMP, remaja nanggung SMA, ABG kuliahan, Ibu – Ibu muda, Bapak – Bapak sok muda, dan mbah – mbah asik, tinggalkan buku sejarah kalian yang membosankan dan dapatkan buku ini untuk tahu Jakarta yang lebih lucu!

Monday, December 1, 2014

Review Film: Crows Zero


“Di Suzuran, lelaki ditentukan oleh pukulannya”

Itulah kalimat pertama dari siswa yang berbicara diawal film pada saat event penerimaan siswa baru. Kalimatnya cukup mewakili plot besar dari keseluruh film ini. Walaupun sampai akhir film orang tersebut gak ngaruh sama sekali, tapi kata – katanya  yang keluar tersebut adalah kuntji.

Jika anda bertanya apakah ada yang menyaingi kenikmatan tarung drajat selain anak – anak kapal dan boedoet, jawabannya ada. Suzuranlah tempatnya. Sekolah yang terlihat seperti gudang. Coretan dimana – dimana. Beberapa kaca kelas pecah dan tak terawat. Guru yang jauh dari kata dihormati. Itulah Suzuran.

Takiya Genji
Takiya Genji, seorang anak pindahan yang punya mimpi untuk menjadi “raja” di Suzuran mengawali hari pertamanya dengan melawan Yakuza. Semuanya TKO. Di Suzuran, target Genji adalah melawan seluruh jagoan tarung yang ada disana. Jelas motivasinya  bukan karena sering mendengarkan ocehan Mario Teguh. Surat tantangan langsung dia berikan dengan cara menimpa coretan sebuah nama di atap sekolah dengan pilox dan merubah menjadi namanya. Nama yang ditimpa tersebut adalah nama seorang jagoan yang selangkah lagi menjadi “Raja” Suzuran.


Takao Serizawa
Di tempat lain, seorang bocah bertampang konyol yang masih memakai seragam sekolah sedang kejar – kejaran dengan detektif kepolisian. Penyebabnya klasik, tidak punya SIM. Kejar – kejaran tersebut sekilas tidak adil dimana si detektif memakai mobil dan si pelajar dengan motor butut. Ini seperti membandingkan Walking Dead dengan Tukang Bubur Naik Haji, pemenangnya sudah ketahuan bahkan sejak melihat label. Tapi kejar – kejaran itu dimenangkan oleh pemuda karena mobil detektif terjungkir pada waktu pengejaran. Akhirnya pemuda tersebut sampai di Suzuran. Ternyata si detektif belum menyerah dan malah mendatangi sekolah itu dengan selusin mobil patroli untuk menangkap si anak muda. Anak muda itu, raja Suzuran, Takao Serizawa.

Itulah gambaran 10 menit pertama film Crows Zero. Greget!

dan sisa ceritanya berkutat adu otot, adu teriak, dan adu urat saraf antara majelis ini:




dengan gerombolan mas - mas ini :



Satu hal yang pasti, Crows Zero bukan film untuk anak sekolah karena didalamnya banyak contoh yang tidak baik. Ada tawuran, penyalahgunaan fasilitas, coret – coret tembok, dll. Tapi untuk ukuran kualitas cerita dan sinematografi, menurut saya Crows Zero patut diacungi jempol, bodo amat menurut Mas Anang sih. Ceritanya terasa sangat dekat dengan yang terjadi di sekolah kebanyakan dan pencahayaan pada setiap adegan terasa sangat pas. Bahkan endingnya cukup dramatis namun manis.

film ini cocok untuk orang yang tidak suka basa - basi karena layaknya The Raid, film ini tanpa tetek bengek langsung bak buk bak buk lalu bergaya orgasme kemenangan. 

sejujurnya,
Saya tidak paham betul siapa sutradaranya, produsernya, atau bahkan pemeran utama dan pemain pendukungnya. saya juga tidak tahu soundtrack-nya, yang jelas keren itu. Satu hal yang pasti, tidak ada rasa sesal karena telah menghabiskan waktu sekitar 2 jam dalam menonton film ini. Kalaupun ada yang perlu disesalkan, mungkin hanya satu. Film ini dirilis tahun 2007 dan saya baru nonton tahun 2014. Hina!