Selamat Datang

Salam kenal untuk kamu.
selamat datang, mari saling mengisi, lalu terhanyut dalam diksi. Moumantay. :)

Monday, November 24, 2014

Catatan Raka: Moumantay!

“Ayo Raka sedikit lagi kita sampai!” teriak Dewa dari atas.

Saya menyeret kaki yang makin terasa berat karena telah empat jam berjalan di tengah hujan. Badan saya terasa dingin. Saya salah, saya lupa membawa jas hujan yang biasa saya pakai ketika mendaki gunung. Celana panjang dan baju dengan bahan yang agak tebal serta sarung tangan ternyata tidak cukup membantu dalam cuaca hujan badai seperti sekarang ini.

Di sekeliling saya, air dan kabut telah bercampur menjadi satu. Udara terasa basah namun nafas sedikit sesak, mungkin hal ini disebabkan karena tipisnya oksigen menjelang ketinggian 3000 meter diatas permukaan air laut (mdpl). Pepohonan di hutan ini bercampur dengan gelapnya malam. Mereka seakan menolak untuk dijadikan tumpuan kaki dan pegangan tangan karena terlalu basah.

Kami telah menempuh perjalanan selama empat jam dalam badai yang dimulai selepas maghrib. Tak biasa dan tak ada persiapan karena sebetulnya saat ini musim kemarau. Kepada kami, alam kembali mengajarkan bahwa prediksi manusia bisa salah karena ada Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Mengatur Segala Sesuatu.

“Raka, denger suara gua gak?!” teriak Dewa kembali yang sudah lebih dulu berada beberapa meter di atas saya. Ya, yang saya hadapi kali ini bukan hanya sekedar jalur tanah. Yang saya hadapi adalah tanjakan semi vertikal dengan cempuran tanah dan akar pohon. Dalam kondisi kering, jalur seperti ini sangat asyik untuk di daki. Namun dalam keadaan badai, jangankan asyik, melangkahpun sulit. Jalur tersebut jadi penuh debit air yang terlihat seperti air terjun kecil. Saya? saya harus melaluinya untuk sampai ke tempat dimana Dewa berada sekarang. Diatas saya.

Iya! Gue dengar!” teriak saya dengan nafas menderu. “Dewa! Gue gak tau nih kuat atau nggak sampai atas!”

“Hah?! Mou..m…y!!!” teriak Dewa yang tidak begitu terdengar jelas karena bertabrakan dengan suara hujan dan angin.

Memang saat ini tak ada yang bisa saya lakukan selain terus perlahan naik keatas. diam ditempat dan lama tak bergerak akan memperbesar resiko terkena hypothermia. Kembali turun, jelas bukan sebuah pilihan. Saya berusaha untuk fokus, jangan sampai ngantuk. Petir dan suara pohon yang diterpa angin tak berhenti saling menyahut.

PANGRANGO memang selalu luar biasa!

Sampai dengan titik ini, kami berdua telah bertemu dengan banyak sekali rombongan pendaki yang memaksakan mendirikan tenda di tepi jalur karena salah satu atau beberapa anggota rombongannya terserang hypothermia. Maklum, akhir – akhir ini kegiatan pendakian gunung semakin digemari. Yang lebih parah, banyak orang yang berfikir bahwa kegiatan ekstrem ini termasuk kegiatan jalan – jalan. Hanya sekedar niat dan kemauan, mereka langsung berangkat naik gunung. Tanpa persiapan mental, fisik, maupun perlengkapan yang memadai. Maka, wajar saja pemandangan yang kami lalui selama empat jam ini. Di sepanjang jalur pendakian, Saya dan Dewa hanya bisa geleng – geleng kepala dan membantu ala kadarnya.

“Oke! Gue ke atas!” teriak saya sambil berharap dapat menambah suhu badan menjadi lebih hangat dan semangatpun dapat bertambah.

“Sip! Yo!” Dewa  balas berteriak sambil jongkok dan mengulurkan tangannya.

Tebing tanah itu mungkin tak terlalu tinggi, hanya satu setengah meter. Menjadi sulit karena banyaknya air yang mengalir dimana dapat menyebabkan alas kaki menjadi slip dan sulit menapak.

Tangan kiriku mulai menjangkau akar diatas kepala. Setelah saya genggam dan saya pastikan akar tersebut cukup kuat, saya berusaha menarik badan yang lumayan agak gemuk ini. Saya coba mencari pijakan dengan kaki kanan namun sulit sekali. Akhirnya, setelah beberapa lama, kaki kanan saya menyentuh batu yang sepertinya dapat menjadi pijakan. Tidak terlalu terlihat karena sumber pencahayaaan hanya dari dua headlamp milik saya dan Dewa.

Dengan satu pijakan kaki kanan dan dibantu dengan tangan kiri menggenggam akar di atas kepala, saya mencoba menarik badan ini katas, saya hempaskan tubuh, dan saya coba jangkau uluran tangan Dewa dengan tangan kanan saya. Dan, berhasil!

Dewa menarik saya keatas dan kami langsung duduk di tanah pada saat itu juga. Nafas kembali menderu karena kelelahan. Lumayan, karena beban yang saya bawa di carriel juga tidak enteng. Carriel saya berisi tenda.

Badai tersebut belum berhenti. Tidak ada sama sekali tanda – tanda badai itu berhenti malam ini. Saya melihat jam, pukul 10.00.

“Apa gue bilang” Dewa mulai berbicara walaupun terengah – engah, “akhirnya bisa kan naik sampai sini, apa gue bilang, haha, Moumantay!!!”

“Hah?! Moumantay?” sahut saya bingung dengan istilah pria dengan rambut cepak ini. “Iya, iya, apa kata lo deh!”

“oke, yok, jangan kelamaan duduk, bisa "kelar" kita. Di ujung jalan ini kita tinggal belok kanan dan sampailah kita di puncak Pangrango. Kita dirikan tenda disana saja. Tempatnya agak lapang. Besok pagi, baru kita ke lembah Surya Kencana” ujar Dewa sambil mencoba berdiri di tengah hujan.

Setelah berjalan sekitar 15 menit seiring dengan bergantinya hujan menjadi gerimis, sampailah kita di tempat yang agak lapang. di tengah tempat itu terdapat rangka bangunan seperti pos dan ada tugu di sisi sebelah kiri.

“Yes! YES!” teriak Dewa ditengah gerimis. “Raka, selamat datang di Puncak Pangrango! Dari sini, kita bisa melihat puncak Gunung Gede di seberang sana. Yah, walaupun sekarang masih ketutup awan sih. Udah gua bilang! MOUMANTAY!”

“Wa, bisa gak sok kerennya besok pagi saja, dan apa sih moumantay itu?” saya menimpali. “capek nih, mending buka tenda, langsung ganti baju biar gak masuk angin, makan sedikit, dan langsung istirahat, yok”

“kampret lo! Hahaha, iya iya.., ayok.” Dia tertawa cengengesan dan membantu saya mengeluarkan tenda dari carriel.

Malam itu setelah perut kami terisi dan sholat isya di dalam tenda, mata dan fisik kami tidak mau menunggu lama untuk beristirahat. Setelah menerjang badai selama kurang lebih empat jam di hutan yang terkenal dengan jalur yang cukup sulit, kami pun terlelap.

***

“Ka… Ka…! Bangun cuy! Subuh! Terus liat Sunrise!” Dewa menggoyang – goyangkan badan saya.

Akhirnya saya terbangun dan melakukan sholat subuh. Dewa sudah di luar tenda. Terlihat beberapa bayangan pendaki lain di luar tenda yang menunggu Sunrise di Puncak Pangrango.

“Cepetan Ka, sunrise di sini lebih cepat dari Jakarta!” teriaknya lagi.

“Iya, iya.” Saya balas berteriak sambil keluar tenda dengan mengucek mata. Mentari di ufuk timur mulai menyala terang. “telat ya gue?”

“hm… moumantay, sekali lagi Raka, selamat datang di Puncak Pangrango” ujar Dewa bersemangat.

Semburat kuning mulai bercahaya di ufuk timur tanda pagi mejelang. Garis kuning itu seakan jadi pembatas antara jernih birunya langit pagi dengan lautan awan putih. Selalu berbeda namun tetap sama. Ya, sunrise di tiap puncak tak pernah sama. Masing – masing mempunyai sensasinya sendiri. Masing  - masing, istimewa dengan dengan caranya sendiri. Namun dia juga tetap sama, dimanapun, dia selalu memberi rasa syukur dan kagum. Memberi tanda kepada setiap manusia bahwa hidup selalu punya pagi.



Langitpun semakin terang, sama sekali tidak ada tanda – tanda kemarahan badai kemarin malam. Seiring matahari yang semakin menyingsing, para pendaki pun semakin banyak yang berkumpul merumpun.

“Lihat sebelah sana…” Dewa menunjuk sisi sebalah kanan dari Puncak Pangrango. “Itu Puncak Gede!”

Kawah gunung gede mengepul mengeluarkan asap kecil yang merangkak naik seakan ingin bergabung dengan langit dan awan. diatasnya terdapat garis panjang yang semua orang pahami sebagai Puncak dari Gunung Gede. Memanjang membentuk jalur seakan membimbing para pendaki untuk melihat cakrawala yang jauh lebih luas
Luar Biasa!


“keren ya?” gue berujar.

Walaupun saya sudah beberapa kali mendaki gunung. Tapi, ini adalah kali pertama saya ke Pangrango. Pasangan setia dari Gunung Gede. lebih istimewa karena semalaman kami dihantam badai. Sungguh, tak ada harapan sama sekali bagi saya untuk dapat sunrise di Puncak Pangrango ditengah kondisi cuaca seperti tadi malam.

“Iya, keren.., nih teh hangat. Gue dikasih segelas sama pendaki asal bogor tadi pagi. Mereka sudah kembali ke tendanya di lembah mandalawangi” Dewa menjulurkan segelas teh dengan asap yang masih mengepul.

“wahduh… ngerepotin amat kita. Hahaha. Thankyou” balas ku

“Ah, moumantay.” Ujarnya kembali

“ngomong - ngomong apa sih moumantay itu? penasaran gue. Dari kemarin lu kalo ngomong pake istilah moumantay itu.”

"Moumantay? Oh, Santai aja. Ya, Moumantay artinya santai aja..." ujar Dewa sambil tersenyum.

No comments:

Post a Comment