“Semua perjalanan
hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, tangis adalah
tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu.
…Manusia terlahir ke
dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta.
Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Namun di detik pertama kita
meluncur keluar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang
kau lego satu per satu demi sesuatu bernama cinta”
Magis. Itulah kutipan dari buku bersampul biru dengan judul
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang saya baca pertama kali pada
waktu SMA. Novel yang ditulis oleh wanita yang saat itu lebih dikenal sebagai
penyanyi daripada penulis, Dewi Lestari. Saat saya mulai membaca, tak ada
ekspektasi apapun terhadap cerita novelnya. Setelah membuka lembar pertama dan
lembar – lembar selanjutnya dari novel itu, saya jatuh cinta dengan plot ceritanya
yang unik, serta kagum dengan pilihan kata – katanya. Singkronisasi plot dan
kata – kata yang bagai instrumen pengiring mahakarya, magis.
Sudah lebih dari 10 tahun sejak pertama saya “berkenalan”
dengannya. Akhirnya, di tahun 2014 ini novel tersebut difilmkan. Diproduksi
oleh Soraya Intercine Film, Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh siap
untuk ditonton penikmat seni visual. Dan setelah agak “telat” karena beberapa
kesibukan, akhirnya semalam saya sempat menonton film tersebut.
Dalam review ini, saya mencoba untuk tidak
membandingkan antara film dengan novelnya. Mengapa? Sederhana, saya lupa setiap
detail kecil cerita di novelnya dan cukup malas untuk membuka kembali saat
menulis ini. Tapi, memang begitulah seharusnya film dinikmati sebagai seni
visual. Dinikmati dengan non-ekspektasi tanpa diperbandingkan dengan apapun,
termasuk novelnya.
Meminjam kata dari teman saya, “bagi awam film Supernova hanya akan terlihat seperti drama perselingkuhan”. Setelah saya menonton langsung, saya pun meng-amin-i. Tapi inilah Supernova dimana plot hanya sebagai sarana untuk media kontemplasi hidup. Film ini tentang hidup.
Cerita di film ini mengikuti plot cerita di novelnya. Dua orang
pria yang sedang belajar di luar negeri bermimpi dimana 10 tahun sejak saat
itu, mereka ingin membuat sebuah mahakarya, sebuah novel fiksi ilmiah yang
menjembatani seluruh percabangan ilmu pengetahuan. Di tempat lain 10 tahun
kemudian, seorang pengusaha muda bertemu dengan wanita cantik dan jatuh cinta
kepadanya. Cinta yang tidak merubah keadaan bahwa si wanita telah memiliki
suami. Di saat yang sama, ditengah gemerlapnya kota, seorang model cantik
melacurkan dirinya kepada para pejabat dan pengusaha kaya untuk menambah pundi
uangnya.
Buat saya, plot ceritanya tanpa cela. Menghormati plot
originalnya. Penyatuan 3 plot yang halus dan memenuhi unsur sebab akibat.
Uniknya untuk sebuah hiburan visual, saya merasa orang
dengan tipe auditori akan jauh lebih menikmati film ini. Narasi di awal, tengah,
dan bahkan akhir yang penuh kalimat magis dan sains hanya akan tertangkap dengan
sempurna oleh penonton dengan indera pendengaran yang peka. Hampir 50% film ini
berisi narasi monolog dengan resiko yang membuat penonton bosan, namun diselamatkan
oleh pemilihan kata – kata indah oleh penulis skenarionya, Donny Dhirgantoro
(penulis novel 5cm, 2)
Yang paling manis dari film ini adalah lantunan soundtrack
dari Nidji. Terasa pas di setiap momen adegan. Tidak berlebihan. Nidji seperti
mengukuhkan kalau mereka terdepan di dalam dunia soundtrack perfilman Indonesia.
Dari banyaknya sisi positif, sayangnya ada sedikit
kekurangan yang menurut saya fatal, para cast yang kurang mengarakter. Herjunot
Ali, Fedi Nuril, Raline Shah, Arifin Putra, Hamish Daud, dan Paula Verhoeven
terasa kurang maksimal di karakter mereka. Reuben dan Dimas dengan reaksi dan
interaksi yang terkesan nanggung, yang mungkin karena, ya gituuu J.
Ferre yang kadang terasa kurang cocok dengan jas yang terlihat kebesaran. Rana
yang aaah… kurang drama putri, kurang dramaaa. Arwin yang gitu gitu aja. Dan Diva,
ah, perempuan tinggi yang mempunyai bentuk tubuh berkualitas model ini
kekurangan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seorang diva, kharisma.
Entah bagaimana proses casting yang dilakukan oleh pihak produksi. Walaupun tidak semua, tapi saya merasa pemilihan para cast tersebut seperti masih memanfaatkan euforia dari kesuksesan film 5 cm.
Bagaimanapun, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh
adalah sebuah karya seni yang patut di apresiasi sebagaimana karya seni
lainnya, dengan rasa dan dengan hati. Penilaiannya tak sekedar benar atau
salah, bagus ataupun jelek, hitam ataupun putih. Penilaiannya bersifat
subjektif sempurna.
Seperti kata Sang Supernova tentang manusia. Jika seseorang memandang hidup dengan sebatas hitam dan putih, maka dia harus siap dengan guncangan turbulensi.
Seperti pembukanya, mari kita tutup review ini dengan quote
yang tak kalah manis.
“Kau dalam ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti, namun aku
selalu disini, menantimu. Entah mengapa”
(Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh – Dee)
No comments:
Post a Comment