Sulit rasanya menjauhi apa yang pernah kita lakukan,
lalu kita mencintainya. Kegiatan yang belakangan saya tahu, saya mengenalnya
bahkan sejak bangku Sekolah Dasar. Tidak sengaja karena hanya mengikuti Ibu dan
Alm Bapak, tapi terlihat dari foto, jelas saya menikmatinya. Usut punya usut,
ternyata kebiasaan orang tua ini menurun ke kedua anaknya. Ya, saya dan adik
saya “keracunan” kegiatan ini.
Travelling.
Kegiatan yang saat ini menjadi gaya hidup bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Semua terobsesi dengan travelling baik ke dalam
maupun luar negeri. Tak peduli umur dan
berapa tingkat penghasilan mereka, semua sibuk merencanakan akan pergi kemana
di bulan – bulan depan.
Sejujurnya, hal itu yang membuat saya agak malas akhir – akhir
ini untuk kembali pergi berkelana mencium udara wangi semesta luar Jakarta. Pergi
bersama orang – orang yang melakukan
kegiatan ini hanya karena lifestyle, prestige, atau untuk sekedar pamer foto di
media sosial. Saya bahkan berfikir akan gantung ransel saja, mencoba menjalani
dan menikmati hidup sebagai seorang karyawan dari masyarakat Indonesia golongan kelas menengah ngehe.
Tapi apa daya, pagi ini semesta seperti sedang bercanda dan
menggoda.
Seperti biasa, setiap pagi saya awali kegiatan dengan
membaca web portal berita. Beberapa web seperti detik.com, okezone.com, dan
kompas.com biasa menjadi cemilan dipagi hari. Ada satu judul menarik yang tertangkap
mata saya di kompas.com. judulnya “Kelak
Nak, Kau Mesti Jelajahi Seisi Negeri.”
Tanpa sadar, saya otomatis meng-klik judul tersebut.
==================================================
Kelak Nak, Kau Mesti
Jelajahi Seisi Negeri
Di Aceh, kau bisa menikmati tari seudati dan berteguk –
teguk kopi. Lalu pada sepanjang bukit barisan, banyak kau jumpai ngarai dan
danau. Dan pantainya nak, ada satu yang tak pernah ayah lupa, adalah Tanjung
Tinggi di pulau Belitung yang indahnya serupa lukisan.
Jika sampai ke tanah jawa, singgahlah dulu ke pantai Bayah
yang dipenuhi batu – batu alam nan elok. O ya nak, tak jauh dari situ, bisa pula
kau jumpai saudara – saudara kita suku Baduy yang masih erat menjaga tradisi
kakek moyang kita yang mulia.
Engkau telah berdiri di tatar Pasundan, nak. Bukalah mata,
telinga, dan hatimu, untuk menikmati bunyi angklung, dengung, dan lekuk-liku
suara penyanyinya yang memabukkan. Terus berjalan ke timur nak, maka akan kau
jumpai borobudur, prambanan, suara gamelan, dan sejumlah tari – tarian yang
penuh kelembutan.
O ya, nak. Jangan lupa, mampirlah sebentar ke Kecamatan
Sukolilo, disana ada saudara – saudara kita warga Sedulur Sikep yang lebih
dikenal sebagai “Orang Samin”. Mereka itulah nak yang pernah membuat malu hati
ayah, lantaran mereka yang oleh negara “didakwa” tak punya agama, nyatanya
lebih agamis dalam menjalani kehidupannya.
Terus berjalan ke timur, nak. Akan kau jumpai gunung –
gunung cantik, reog ponorogo, karapan sapi, dan tentu saja ludruk yang sarat
ujar – ujar. Jika sempat, naiklah kapal ke utara, di bumi borneo mungkin saja
masih kau temui hutan raya yang dulu dibabati para pemegang hph. Tapi ayah
yakin, disana kau masih bisa menyaksikan upacara suku dayak, orang utan, dan
anggrek aneka rupa.
Ayah lupa nak, kau perlu juga menjenguk kenangan masa kecil
saat kau bersama ayah mengelilingi pulau Bali. Ya, ya… pantai Kuta, Sanur,
Tanah Lot, Bedugul, Tari Janger, Trunyan, dan tentu pula Tari Legong yang sudah
menyebar ke negara manca.
Teruslah berjalan nak, terus ke timur. Ke tanah yang kurang
diperhatikan orang – orang Jakarta yang lebih mabuk kuasa ketimbang mengangkat
derajat saudara – saudara kita di bagian timur negeri. Wayang sasak, komodo,
upacara nyalamak di laut, perburuan paus, upacara nyale, adalah keindahan yang
ditawarkan oleh tanah ini.
Teruslah melangkah, nak. Sulawesi, ya, itu negerimu juga.
Ayah pernah hinggap ke pantai bira, bulukumba tempat para petualang membangun
kapal – kapal phinisi. Ya, teruslah melaju ke timur negeri, hingga ke papua
untuk menyantap keindahan raja ampat, hutan – hutan perawan, serta aneka
tumbuhan berkhasiat.
Sungguh nak, ini semua milik kita. Jika sebagian di antaranya
telah tergadai para pemodal asing, jangan ragu, rebut kembali dari tangan
mereka. Sebab semua yang kau punya, adalah hak dan juga takdirmu sebagai
penghuni negeri ini. Sungguh, nak, kami dan juga pemimpin – pemimpin kami,
pernah tak berdaya justru karena katamakan kami yang telah melalap mentah –
mentah uang utang tanpa pernah ingat bahwa kami juga memiliki engkau, anak
keturunan kami.
No comments:
Post a Comment