“Ayo Raka sedikit lagi kita
sampai!” teriak Dewa dari atas.
Saya menyeret kaki yang makin terasa berat karena telah empat jam berjalan di tengah hujan. Badan saya terasa dingin. Saya salah, saya lupa membawa jas hujan yang biasa saya pakai ketika
mendaki gunung. Celana panjang dan baju dengan bahan yang agak tebal
serta sarung tangan ternyata tidak cukup membantu dalam cuaca hujan badai
seperti sekarang ini.
Di sekeliling saya, air dan kabut
telah bercampur menjadi satu. Udara terasa basah namun nafas sedikit sesak, mungkin hal ini disebabkan karena tipisnya oksigen menjelang ketinggian 3000 meter diatas permukaan air
laut (mdpl). Pepohonan di hutan ini bercampur dengan gelapnya malam. Mereka seakan menolak untuk dijadikan tumpuan kaki dan
pegangan tangan karena terlalu basah.
Kami telah menempuh perjalanan selama empat jam dalam badai yang dimulai selepas maghrib. Tak biasa dan tak ada
persiapan karena sebetulnya saat ini musim kemarau. Kepada kami, alam kembali
mengajarkan bahwa prediksi manusia bisa salah karena ada Tuhan Yang Maha Benar dan
Maha Mengatur Segala Sesuatu.
“Raka, denger suara gua gak?!”
teriak Dewa kembali yang sudah lebih dulu berada beberapa meter di atas saya.
Ya, yang saya hadapi kali ini bukan hanya sekedar jalur tanah. Yang saya hadapi adalah
tanjakan semi vertikal dengan cempuran tanah dan akar pohon. Dalam kondisi kering,
jalur seperti ini sangat asyik untuk di daki. Namun dalam keadaan badai,
jangankan asyik, melangkahpun sulit. Jalur tersebut jadi penuh debit air yang terlihat seperti air terjun kecil. Saya? saya harus melaluinya untuk sampai ke tempat dimana Dewa berada sekarang. Diatas saya.
Iya! Gue dengar!” teriak saya
dengan nafas menderu. “Dewa! Gue gak tau nih kuat atau nggak sampai atas!”
“Hah?! Mou..m…y!!!” teriak Dewa yang tidak begitu terdengar jelas karena bertabrakan dengan suara hujan dan angin.
Memang saat ini tak ada yang bisa
saya lakukan selain terus perlahan naik keatas. diam ditempat dan lama tak bergerak akan memperbesar resiko terkena hypothermia.
Kembali turun, jelas bukan sebuah pilihan. Saya berusaha untuk fokus, jangan
sampai ngantuk. Petir dan suara pohon yang diterpa angin tak
berhenti saling menyahut.
PANGRANGO memang selalu luar biasa!
Sampai dengan titik ini, kami berdua
telah bertemu dengan banyak sekali rombongan pendaki yang memaksakan mendirikan
tenda di tepi jalur karena salah satu atau beberapa anggota rombongannya
terserang hypothermia. Maklum, akhir – akhir ini kegiatan pendakian gunung
semakin digemari. Yang lebih parah, banyak orang yang berfikir bahwa kegiatan
ekstrem ini termasuk kegiatan jalan – jalan. Hanya sekedar niat dan kemauan,
mereka langsung berangkat naik gunung. Tanpa persiapan mental, fisik, maupun
perlengkapan yang memadai. Maka, wajar saja pemandangan yang kami lalui selama
empat jam ini. Di sepanjang jalur pendakian, Saya dan Dewa hanya bisa geleng – geleng kepala dan membantu ala
kadarnya.
“Oke! Gue ke atas!” teriak saya sambil berharap dapat menambah suhu badan menjadi lebih hangat dan semangatpun dapat bertambah.
“Sip! Yo!” Dewa balas berteriak sambil jongkok dan
mengulurkan tangannya.
Tebing tanah itu mungkin tak
terlalu tinggi, hanya satu setengah meter. Menjadi sulit karena banyaknya air
yang mengalir dimana dapat menyebabkan alas kaki menjadi slip dan sulit menapak.
Tangan kiriku mulai menjangkau akar
diatas kepala. Setelah saya genggam dan saya pastikan akar tersebut cukup kuat,
saya berusaha menarik badan yang lumayan agak gemuk ini. Saya coba mencari
pijakan dengan kaki kanan namun sulit sekali. Akhirnya, setelah beberapa lama,
kaki kanan saya menyentuh batu yang sepertinya dapat menjadi pijakan. Tidak
terlalu terlihat karena sumber pencahayaaan hanya dari dua headlamp milik saya
dan Dewa.
Dengan satu pijakan kaki kanan dan
dibantu dengan tangan kiri menggenggam akar di atas kepala, saya mencoba menarik
badan ini katas, saya hempaskan tubuh, dan saya coba jangkau uluran tangan Dewa dengan tangan kanan saya. Dan, berhasil!
Dewa menarik saya keatas dan kami
langsung duduk di tanah pada saat itu juga. Nafas kembali menderu karena
kelelahan. Lumayan, karena beban yang saya bawa di carriel juga tidak enteng.
Carriel saya berisi tenda.
Badai tersebut belum berhenti.
Tidak ada sama sekali tanda – tanda badai itu berhenti malam ini. Saya melihat
jam, pukul 10.00.
“Apa gue bilang” Dewa mulai
berbicara walaupun terengah – engah, “akhirnya bisa kan naik sampai sini, apa gue bilang, haha,
Moumantay!!!”
“Hah?! Moumantay?” sahut saya bingung
dengan istilah pria dengan rambut cepak ini. “Iya, iya, apa kata lo
deh!”
“oke, yok, jangan kelamaan duduk,
bisa "kelar" kita. Di ujung jalan ini kita tinggal belok kanan dan sampailah kita
di puncak Pangrango. Kita dirikan tenda disana saja. Tempatnya agak lapang.
Besok pagi, baru kita ke lembah Surya Kencana” ujar Dewa sambil mencoba berdiri
di tengah hujan.
Setelah berjalan sekitar 15 menit
seiring dengan bergantinya hujan menjadi gerimis, sampailah kita di tempat yang
agak lapang. di tengah tempat itu terdapat rangka bangunan seperti pos dan ada tugu di sisi sebelah
kiri.
“Yes! YES!” teriak Dewa ditengah
gerimis. “Raka, selamat datang di Puncak Pangrango! Dari sini, kita bisa
melihat puncak Gunung Gede di seberang sana. Yah, walaupun sekarang masih
ketutup awan sih. Udah gua bilang! MOUMANTAY!”
“Wa, bisa gak sok kerennya besok
pagi saja, dan apa sih moumantay itu?” saya menimpali. “capek nih, mending buka
tenda, langsung ganti baju biar gak masuk angin, makan sedikit, dan langsung
istirahat, yok”
“kampret lo! Hahaha, iya iya..,
ayok.” Dia tertawa cengengesan dan membantu saya mengeluarkan tenda dari
carriel.
Malam itu setelah perut kami terisi
dan sholat isya di dalam tenda, mata dan fisik kami tidak mau menunggu lama
untuk beristirahat. Setelah menerjang badai selama kurang lebih empat jam di
hutan yang terkenal dengan jalur yang cukup sulit, kami pun terlelap.
***
“Ka… Ka…! Bangun cuy! Subuh! Terus
liat Sunrise!” Dewa menggoyang – goyangkan badan saya.
Akhirnya saya terbangun dan
melakukan sholat subuh. Dewa sudah di luar tenda. Terlihat beberapa bayangan pendaki lain di luar tenda yang menunggu Sunrise di Puncak Pangrango.
“Cepetan Ka, sunrise di sini lebih
cepat dari Jakarta!” teriaknya lagi.
“Iya, iya.” Saya balas berteriak
sambil keluar tenda dengan mengucek mata. Mentari di ufuk timur mulai menyala
terang. “telat ya gue?”
“hm… moumantay, sekali lagi Raka,
selamat datang di Puncak Pangrango” ujar Dewa bersemangat.
Semburat kuning mulai bercahaya di
ufuk timur tanda pagi mejelang. Garis kuning itu seakan jadi pembatas antara
jernih birunya langit pagi dengan lautan awan putih. Selalu berbeda namun tetap
sama. Ya, sunrise di tiap puncak tak pernah sama. Masing – masing mempunyai
sensasinya sendiri. Masing - masing,
istimewa dengan dengan caranya sendiri. Namun dia juga tetap sama, dimanapun,
dia selalu memberi rasa syukur dan kagum. Memberi tanda kepada setiap manusia
bahwa hidup selalu punya pagi.
Langitpun semakin terang, sama
sekali tidak ada tanda – tanda kemarahan badai kemarin malam. Seiring matahari yang semakin menyingsing, para pendaki pun semakin banyak
yang berkumpul merumpun.
“Lihat sebelah sana…” Dewa menunjuk
sisi sebalah kanan dari Puncak Pangrango. “Itu Puncak Gede!”
Kawah gunung gede mengepul
mengeluarkan asap kecil yang merangkak naik seakan ingin bergabung dengan
langit dan awan. diatasnya terdapat garis panjang yang semua orang pahami
sebagai Puncak dari Gunung Gede. Memanjang membentuk jalur seakan membimbing
para pendaki untuk melihat cakrawala yang jauh lebih luas
Luar Biasa!
“keren ya?” gue berujar.
Walaupun saya sudah beberapa kali
mendaki gunung. Tapi, ini adalah kali pertama saya ke Pangrango. Pasangan setia
dari Gunung Gede. lebih istimewa karena semalaman kami dihantam badai. Sungguh,
tak ada harapan sama sekali bagi saya untuk dapat sunrise di Puncak Pangrango ditengah kondisi cuaca seperti tadi malam.
“Iya, keren.., nih teh hangat. Gue
dikasih segelas sama pendaki asal bogor tadi pagi. Mereka sudah kembali ke
tendanya di lembah mandalawangi” Dewa menjulurkan segelas teh dengan asap yang masih mengepul.
“wahduh… ngerepotin amat kita.
Hahaha. Thankyou” balas ku
“Ah, moumantay.” Ujarnya kembali
“ngomong - ngomong apa sih moumantay itu? penasaran
gue. Dari kemarin lu kalo ngomong pake istilah moumantay itu.”
"Moumantay? Oh, Santai aja. Ya, Moumantay artinya santai aja..." ujar Dewa sambil tersenyum.